BAB 3 | Tantangan

14.4K 582 16
                                    

"Permainan apapun yang kita mainkan, kita akan terjebak didalamnya jika tidak pandai memainkan."

—Hansel Steven—

***

Arvin berjalan di koridor dengan menyampirkan tas dibahu kanan, mendengar suara sapaan dari perempuan di sekitar koridor. Arvin biasanya menanggapi dengan anggukan saja, jika tidak tersenyum tipis.

"Vin, bisa minta tolong nggak? Tempel ini di mading ya, gue buru-buru nih," pinta Rita—teman sekelasnya yang datang menghampiri sembari memberikan selembar kertas.

"Hum," jawabnya singkat namun Arvin tetap melakukan permintaan teman sekelasnya itu.

Arvin berjalan ke arah dimana mading berada sebelum memasuki kelasnya.

" Woi, Arvin ngapain lo?" tanya Hansel sahabat satu-satunya Arvin yang baru datang melihat keberadaan Arvin dimading sekolah.

"Nyuci!"

"Ya, kali, nyuci di mading," sewot Hansel.

"Lo udah tahu masih nanya," jawab Arvin sembari menempelkan selembar kertas berisi informasi mengenai penerimaan siswa siswi baru."

Hansel mendumel kesal mendengar jawaban Arvin yang selalu ketus padanya.

"Buruan Vin, bentar lagi bel masuk nih," desak Hansel.

Arvin yang sudah selesai pun langsung menutup kaca mading. Seorang laki laki remaja berperawakan tinggi datang tiba-tiba bersama kedua temannya.

"Apaan nih, penerimaan siswa siswi baru .Wah, pasti bakal banyak cewek cantik yang masuk sekolah sini," seru lelaki remaja itu sembari membuka kaca mading mengambil kertas yang ditempel di mading.

Srek

Kertas yang ditempel Arvin berserakan di ubin lantai.

Arvin yang melihat itu memandang laki laki remaja itu sinis. Laki laki remaja itu—Bara Putra Sandjaya yang selalu saja cari masalah sejak mereka duduk di kelas X. Bara merasa iri dan cemburu melihat Arvin banyak disukai oleh perempuan disekolahnya terutama pacar Bara sendiri.

"Apa lo lihat-lihat hah! Lo mau lawan gue? Ayo lawan, banci banget sih lo gitu aja lembek jadi cowok nggak pernah ngelawan," tantang Bara.

"Bar,.lo kenapa sih cari masalah terus sama Arvin?" tanya Hansel yang selalu saja geram karena Bara selalu saja mengganggu Arvin.

"Gue nggak punya urusan sama lo! Lebih baik lo diam," ketus Bara memandang Hansel.

"Lo—"

"Apa mau lo," balas Arvin.

"Lo tanya mau gue?" Bara tersenyum miring. "Gue mau, nanti malam lo datang ke base camp Red Devil."

"Jangan terpancing omongan Bara Vin, lo ingat terakhir kali dia nantangin lo main basket dan dia berbuat curang?" sela Hansel memperingati Arvin.

"Kali ini lo mau nantang gue apalagi?" tanya Arvin santai.

"Gue mau balapan sama lo," ucap Bara menantang.

"Oke, pukul 20.00 Wib, lewat dari itu, gue pulang," balas Arvin.

"Vin, lo gila? Bara cuma mau main- main, jangan pernah percaya sama omongan Bara," sambung Hansel protes.

"Lo diam aja deh kacung, nggak usah ikut campur," sahut salah satu teman Bara.

"Kacung teriak kacung!" sindir Hansel kesal.

"Ok deal," sahut Bara.

Arvin pergi meninggalkan Bara yang diikuti oleh Hansel bertepatan dengan bel masuk kelas berbunyi.

"Vin, lo yakin mau ikut balapan itu? Lo tahu kan, kalau Bara selalu curang masalah apapun?"

"Lihat aja nanti," kata Arvin santai.

Hansel menghela napas, percuma Hansel selalu memperingatkan Arvin nyatanya Arvin selalu saja menerima tantangan Bara.

Selina datang memasuki kelasnya dan langsung menuju bangku Arvin.

"Hai, Vin,"sapa Selina.

"Hum," jawab Arvin singkat.

"Nanti malam lo datang kan ke base camp Red Devil?" tanya Selina memastikan.

"Sel, lo jangan banyak tanya deh, mending lo pergi ke meja lo, lagian apa urusannya Arvin sama lo. Lo kan, pacarnya Bara," jawab Hansel.

"Heh, Kensel, lo diam aja deh bawel banget lo, gue tanya Arvin bukan lo," sewot Selina kesal.

"Nama gue Hansel, H - A - N - S - E - L bukan Kensel," ucap Hansel mendikte namanya membuat Selina mendengus.

Arvin hanya mendengus melihat pertengkaran Hansel dan Selina, setiap Selina mengganggunya.

"Pergi."

"Lo dengarkan? Arvin muak lihat muka lo, apalagi lihat dandanan muka lo yang kayak badut," ejek Hansel.

"Vin," rengek Selina manja pada Arvin.

"Cih, sok manja kena siraman rohani baru tahu rasa," cibir Hansel.

"Lo—"

"Pergi, sebelum kesabaran gue habis," perintah Arvin dingin.

Selina yang merinding mendengar nada bicara Arvin, seketika menghentakkan kakinya kesal dengan bibir mengerucut kembali ke bangkunya.

"Vin, emang lo boleh keluar nanti malam?" tanya Hansel.

"Boleh, kan ada lo," sahutnya santai.

"Gue lagi, gue lagi jadi tumbal," gumam Hansel.

"Jadi, lo nggak mau?" Arvin memandang Hansel dengan tatapan ingin membunuh.

"Eh , iya-iya gue mau, biasa aja pandangan lo, takut gue, serem," celetuk Hansel melihat tatapan membunuh milik Arvin.

"Bagus."

Guru matematika pun memasuki kelas Arvin membacakan hasil ujian mereka sekaligus memberitahukan untuk jadwal remedial.

Disisi lain, berbeda dengan keadaan Arabella yang bernapas lega karena dia akhirnya bisa juga mengikuti ujian akhir nasional berkat Arvin.

"Hah! Akhirnya gue bisa ikut ujian akhir, gak salah gue nekat berhentiin kendaraan lewat tadi, eh, ternyata, Kakak Arvin ganteng yang lewat, aji mumpung," gumam Arabella tersenyum sendiri.

Para siswa siswi yang melihat Arabella tersenyum tidak jelas, membuat mereka merinding namun Arabella hanya acuh mengangkat bahunya tidak perduli.

A & A [TELAH TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang