18. Tidak Terasa?

2.5K 140 1
                                    

Selamat membaca...

Matahari mulai terbenam, warna langit juga sudah mulai kemerah-merahan. Ika membuka kelopak matanya ketika adzan maghrib mulai terdengar melalui indra pendengarannya.

Hari ini sudah menjadi hari ketiga Ika terbaring sakit di atas tempat tidur. Sebenarnya hari ini keadaan imun tubuhnya sudah mulai membaik, tapi Vania tetap kekeh melarangnya untuk tidak terlalu banyak beraktivitas. Dan dirinya berakhir tidak bersekolah lagi hari ini.

Kosong. Ika menoleh ke samping kiri tempat tidurnya, sosok Vania yang sedari pagi selalu berada di samping tempat tidurnya sudah tidak ada di sana-- sosok pengganti peran ibu yang sudah lama tak dapat ia rasakan.

Pintu kamar mandi terbuka, Icha keluar dari sana dengan handuk bergambar doraemon yang melilit sebagian tubuhnya.

"Kak Ika udah bangun?" tanya Icha sambil berjalan mendekati Ika.

Ika tak merespon, ia mendudukkan dirinya malas, lalu langsung berlalu melewati Icha-- masuk ke dalam kamar mandi.

Icha hanya dapat menghela napas dengan sikap dingin Ika kepadanya. Tapi Icha harus bersyukur,   bagaimanapun juga orang yang sudah ia anggap seperti kakak kandungnya itu mau menganggapnya ada walaupun dengan terpaksa sekalipun.

••••

Ika mengalihkan pandangannya saat matanya tanpa sengaja dua netranya bertatapan langsung dengan Fiza yang sekarang juga menatapnya.

Vania datang dengan membawa masakannya lalu menaruhnya di atas meja makan. Ia tersenyum ketika melihat Ika terlihat melangkah pelan menuruni anak tangga.

"Gimana keadaan kamu nak?" tanya Vania sambil berjalan mendekati Ika.

"Saya sudah nggak papa kok Tante," balas Ika.

Vania mengangguk semangat, ia membantu Ika untuk duduk di kursi makan samping Arka. Ya, walaupun Ika sebenarnya masih bisa berjalan sendiri, tapi wanita baya itu pasti akan tetap kekeh dengan apa yang ia lakukan sekarang.

Arka masih menatap Ika dengan jelas. Dan masih sama seperti tadi pagi, wajah putih itu masih terlihat pucat dan lemah. Arka menjadi iba sendiri melihat tampilan Ika yang berbeda tiga ratus enam puluh derajat dari saat pertama kali ia bertemu secara langsung dengan gadis itu beberapa minggu yang lalu. Sebut saja Arka sering mengamati wajah cantik Ika.

Entahlah, bahkan Arka sendiri juga bingung kenapa ia selalu memikirkan gadis itu akhir-akhir ini.

"Kamu mau makan apa nak?" tanya Vania.

Ika mengernyit bingung-- tak paham dengan pertanyaan Vania.

"Ha?"

"Lidah kamu udah nggak pahit?" tanya Vania lagi.

"Nggak kok Tan,"

Percakapan berhenti sampai di sini, semua orang termasuk Vania yang cerewetnya nauzubillah juga diam-- menikmati makan malamnya dengan tenang.

Beberapa menit kemudian meja makan yang awalnya penuh dengan berbagai macam makanan pun sudah habis ludes.

Ika meminum tablet obatnya yang ia bawa dari kamar, obat yang memang diharuskan di minum setelah makan malam.

"Semua sudah selesai kan?" tanya Vania

"Sudah Bun," balas Arka

"Sudah Tante," balas Fiza dan Icha bersamaan.

Tak mendengar jawaban dari gadis di sebelah Arka, Vania tersenyum menatap Ika, "sudah kan Ika?"

Ika menaruh gelas airnya yang tadi ia gunakan untuk menelan tablet obatnya, lalu menatap Vania,

Airka: My Queen BullyingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang