Pertengkaran yang cukup besar antara kedua remaja itu terdengar begitu nyaring di dalam sebuah kamar.
"Gue bilang nggak mau Ka!" tegas Ika dengan wajah pucatnya.
Arka mengacak rambutnya kasar.
"Oke, kita pake logika aja. Lo tuh tinggal sendiri sekarang, terus tinggal di hotel, lo pikir dengan lo kayak gini masalah selesai. Yang ada lo tambah mikir. Terus sekarang lo sakit, lo sendiri Ka! Siapa yang ngurus lo? Lo mau cepet mati hah?! Mikir dong!" ujar Arka sarkas. Kesabarannya sudah dikuras habis dengan berdebat dengan gadis di depannya.
Ika memegang perutnya erat,
"Gue nggak akan pernah pulang kalau dia nggak minta maaf sama gue!"
"Dasar keras kepala!" gumam Arka pelan, namun Ika masih dapat mendengarnya.
Ika berdecak kesal. Kenapa cowok itu selalu mencampuri semua urusannya?
"Iya! Gue keras kepala! Lo bilang kayak gini karena lo nggak ada di posisi gue. Lo pikir mudah jadi gue? Hah? Lo pikir mudah jadi seorang anak yang nggak dianggap sama ibunya sendiri? Lo pikir mudah!"
Mata Ika terasa memanas, ia benar-benar menahan air matanya agar tak turun. Ia tak boleh membiarkan cowok itu melihatnya menangis untuk sekali lagi, ia terlalu malu.
"Gue nggak kabur dari rumah itu. Gue diusir, lo seharusnya ngerti itu. Gue masih punya harga diri Ka, walaupun dia ibu gue sendiri,"
Arka tersenyum samar,
"Terus? Lo mau mati muda, hah? Lo pikir dengan lo bersikap kayak gini, semua selesai? Ika! Lo tuh pinter, seharusnya lo bisa mikir. Lo belum bisa hidup sendiri, lo masih butuh nyokap, bokap lo,"
Sekarang Ika benar-benar manangis. Air mata nakal itu turun tanpa dimintanya,
"Lo mudah bilang gue harus balik. GUE MENDINGAN MATI DARIPADA HARUS BALIK KE RUMAH ITU!!!" teriak Ika frustasi.
"IKA!"
"Kenapa? Emang bener kan? Nggak ada yang peduli sama gue. Semua orang sama! Egois," Ika mengusap kasar air matanya.
"Egois?" Arka tertawa meremehkan, "emang lo nggak, hah?" lanjut Arka.
"Oke, lo nggak mau balik ke rumah. Lo tinggal di rumah gue lagi,"
"Gak. Big no!" tolak Ika.
"Lo tuh maunya gimana sih?!"
"Gue mau hidup sendiri,"
"LO BISA MATI KALAU LO HIDUP SENDIRI! TOLOL!" teriak Arka tanpa sadar.
"ARKA!" teriak seseorang dari belakang Arka.
Arsie menatap adiknya tak percaya. Dia benar-benar berbeda dengan Arka yang ia kenal. Ia bahkan tak pernah melihat adiknya itu semarah ini dengan seseorang.
Arsie berlari menghampiri Ika yang meringkuk kesakitan di atas tempat tidur. Ia tak habis pikir dengan adiknya, bagaimana bisa ia sekasar ini dengan perempuan yang sedang kesakitan di depannya.
"Ika, kamu nggak papa,"
"Saya nggak papa," jawab Ika lirih, sambil menggigit bibirnya menahan rasa sakit di perutnya yang teramat sangat.
Arsie membantu Ika berbaring di atas ranjang, ia dapat melihat dengan jelas kalau gadis itu tengah menahan rasa sakitnya. Lalu ia menolehkan kepalanya-- menatap adiknya yang dengan tampang tak bordosanya masih berdiri bersandar pada pintu.
"Ika, kamu makan dulu ya. Ini obatnya," ujar Arsie sambil menaruh kresek kecil di tangannya di samping mangkuk berisi bubur yang terlihat masih utuh. Pasti Ika belum sempat memakannya.
"Kamu!" Arsie beranjak sambil menatap tajam adiknya, " ikut kakak!"
Arsie melangkah keluar dari kamar.
Arka menatap Ika sekilas, lalu mengikuti langkah kakaknya yang membawanya ke ruang tamu.
"Duduk!" perintah Arsie dan Arka langsung menurutinya.
Arsie menampilkan wajah datar yang selalu muncul saat ia sedang marah. Dan wajah itulah yang selalu berhasil membuat mulut Arka menjadi kelu untuk berbicara.
"Kenapa?" tanya Effa datar.
Arka menghela napas panjang lalu menatap menunduk, ia takut melihat wajah mengerikan kakaknya.
"Ayah sama Bunda pernah ngajarin kamu kasar sama cewek? Kasar sama orang yang lagi sakit? Pernah Arka?"
Arka menggeleng sebagai jawaban.
"Terus tadi?"
"Pliss kak," Arka berusaha meluluhkan hati kakaknya yang sekarang pasti sudah mengeras gara-gara kejadian tadi.
"Yaudah jelasin!"
"Ika diusir sama ibunya. Terus Arka nyuruh dia pulang, dia lagi sakit kak," jelas Arka.
Arka memicingkan matanya, "lha terus?"
"Kak..."
"Terus kenapa kamu teriak-teriak?" tanya Arka sarkas.
"Dia nggak mau," lirih Arka.
"Harus teriak?"
"Ika kalau nggak dikasarin selalu nolak kak,"
Arsie mengangguk ringan,
"Berarti ini bukan pertama kalinya?" tanya Arsie menjebak.
"Kak..."
"Jawab kakak Arka!"
"Maaf kak,"
"Kamu nggak lihat Ika kesakitan?" tanya Arsie jengkel.
"Jelasin semuanya secara detail, biar kakak nggak salah paham sama kamu!"
Setelah menjelaskan semuanya, akhirnya Effa memutuskan untuk Ika tinggal di rumahnya. Ia menjadi merasa iba setelah Arka menjelaskan seluk beluk gadis itu.
Dan untungnya Ika menerimanya tanpa harus melewati debat panjang seperti yang terjadi dengan adiknya tadi.
Setelah melaksanakan sholat maghrib, Arka mengantar Ika kembali ke hotel untuk mengambil semua barang-barang Ika yang masih berada di sana.
Sekarang Arka hanya mendudukkan dirinya di atas sofa kamar itu sembari menunggu Ika yang tengah berkemas. Tv di kamar itu ia hidupkan agar tidak merasa jenuh. Sudah ada 20 menit ia menunggu, tapi gadis itu seakan tak ada tanda-tanda untuk segera menyelesaikan kegiatannya.
Gadis itu sudah tiga kali berjalan di depannya untuk mengambil sesuatu yang ia tak ketahui, Arka sendiri merasa pusing melihat Ika yang terus berjalan, dan hanya akan berhenti untuk menaruh barangnya ke dalam koper. Ika benar-benar menaruh semua barangnya di tempat-tempat yang terpisah, sepertinya ia sudah niat akan tinggal di sini untuk waktu yang lama.
Setelah sekian lama akhirnya Ika menutup kopernya, artinya gadis itu sudah selesai bebenah. Arka pun mematikan tv itu dan mengambil alih koper besar itu.
"Cepetan! Keburu malem," Arka berjalan duluan keluar dari kamar, dan Ika hanya membuntutinya dari belakang.
Menunggu beberapa menit untuk naik lift, akhirnya mereka sampai di lantai dasar hotel itu.
Ika menyerahkan kunci kamarnya kepada petugas resepsionis hotel, lalu mengikuti Arka ke parkiran.
Arka memasukkan koper Ika ke dalam bagasi lalu langsung masuk ke dalam mobilnya. Arka menoleh saat gadis itu tak kunjung masuk ke dalam mobil. Seketika Arka membelalak saat Ika ambruk di samping pintu mobil.
Dengan perasaan cemas yang tiba-tiba hinggap, Arka keluar dari mobil. Sudah ada beberapa orang mengelilingi Ika, tapi tak ada satupun dari mereka yang hendak menolong gadis itu. Arka menggeram kesal, ia mendorong siapapun yang menghalangi jalannya. Ia menyelipkan tangannya di punggung dan bawah lutut Ika.
"Kalau nggak niat nolong mendingan pergi!" tajam Arka sambil memasukkan Ika ke dalam mobil.
Arka memutari mobilnya untuk masuk dan mengambil tempat di kursi kemudi. Ia langsung menancap gas cepat setelah berhasil keluar dari area parkiran itu.
Sebenarnya apa yang terjadi pada gadis itu?
.
.
.
![](https://img.wattpad.com/cover/211676615-288-k454577.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Airka: My Queen Bullying
Teen FictionIni cerita yang aku repost lagi, setelah memperbaiki alur dan perannya. . . . Good boy >< Bad Girl Kisah seorang gadis SMA bernama Raghiska Tika Ivvya yang harus tinggal selama beberapa bulan di rumah buliannya sendiri, Arkan Raihanata. Ika yang no...