Nine

124 49 10
                                    

Setelah 30 menit menatap layar ponselnya, ia mulai menyerah. Kelopak mata lelaki itu seakan terinjak-injak oleh para peri kecil.

"Kau cantik walaupun tanpa make Up. Natural." Rey terus memandang Juni yang sedang terlelap di hadapannya.

"Kapan dia sadar? Mabuknya terlalu lama," batin Rey.
Rey dikalahkan oleh kantuknya hingga mata indah lelaki itu pun terpejam.
.
.
.

⏰⏰⏰

Fajar telah menyingsing, meski 'tak ada cahaya matahari yang menyelip ke ruangan itu, ia tetap terbangun di waktu yang sama seperti biasanya. Seolah di alam mimpinya ia telah menyetel alarm pribadi.

Ia terkejut saat melihat sofa di hadapannya masih di tempati oleh gadis cantik dengan rambut acak-acakan yang masih tertidur pulas. Ia berekspektasi bahwa Juni akan pulang dengan tanpa membangunkannya. Rey memandangnya dengan tatapan yang sangat dalam. Setiap sudut bibirnya tertarik saat mengingat perkataan Juni semalam.

Aku suka padamu Rey.

"Seandainya saja kau mengucapkan itu dalam keadaan sadar," batin Rey.

Lelaki itu beranjak untuk melakukan ritualnya. Rey selalu menyegerakan dirinya untuk mandi setelah bangun tidur. Karena jika menundanya ia akan mengalami satu penyakit yaitu, malas.
Setelah ritual itu selesai, ia bersiap untuk sarapan. Lelaki itu hanya menikmati semangkuk sereal jagung dengan campuran susu full cream yang sering ia seduh setiap kali 'tak sempat memasak.

Seharusnya hari ini Rey tidak akan kemana-mana, namun karena pemberitahuan dadakan dari kampus membuatnya harus pergi. Rey sempat bimbang, pasalnya Juni masih tertidur. Ia juga tidak tega untuk membangunkanya. Sesekali ia mengecek Juni di sofa dan setiap kali melihat wajah gadis itu ia berulang kali tersenyum, perkataan Juni masih terngiang-ngiang.

Rey membuka lemari berwarna putih dan mengambil dua botol susu yang sengaja ia bekukan. Kemudian diletakkannya di meja tepat di samping Juni dan menuliskan pesan di atas kertas hijau muda.

Tiba-tiba saja ponsel Juni yang ia letakkan di atas meja bergetar, membuat langkah Rey saat itu terhenti. Ia berpikir mungkin Juni akan terbangun, namun ternyata gadis itu masih mengudara di mimpinya.

[Mentor calling...]

Rupanya Sam yang menghubungi Juni. Tanpa berpikir panjang, Rey pun menjawab panggilan itu.

"Halo."

"Juni? Suaramu kenapa?"

"Maaf Juni sedang tidur, ada pesan?"

"Oh, tidak ada. Maaf, Anda siapa?"

"Akan saya sampaikan ke Juni kalau Anda menghubunginya."

Tut,tut,tut...

Entah apa yang dipikirkan seorang Rey, ia langsung saja memutuskan telepon dari Sam. Tak lama kemudian, ponsel Rey yang kini bergetar. Kali ini panggilan telepon dari Angel.

"Ya, Angel?"

"Kau dimana Rey? Fotografernya sudah tiba 5 menit yang lalu."

"Iya, ini aku baru mau berangkat."

"Cepatlah!"

"Iya,iya."

Lelaki itu pun bergegas untuk berangkat. Sekitar empat langkah kaki dari sofa, ia kembai menoleh ke arah Juni seakan berat untuk meninggalkannya sendiri. Namun mengingat Angel yang sudah berada di lokasi, ia tetap pergi.

"Kenapa rasanya berat meninggalkan dia? Seperti belahan jiwa saja."

"Tapi kalau memang iya, sepertinya aku harus berterima kasih kepada Tuhan saat ini." Rey seperti anak remaja yang baru saja jatuh cinta. Sepanjang jalan ia selalu tersenyum sampai-sampai telinganya memerah.

I'm sorry [Complete ✓️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang