1. Seriously?

3.1K 184 0
                                    

Ternyata tidak semua pekerjaan itu sulit dicari, misalnya bekerja sebagai asisten rumah tangga seperti ini.
Menjadi ART tidak buruk juga, kan?
Toh, ini pekerjaan yang halal.

Rumah yang indah bak istana, aku harap semua penghuni di sini bisa bersikap ramah dan aku harap aku mampu beradaptasi dengan cepat.

“Lo gak salah nih jadi pembantu?” Lagi-lagi Gilang melihatku dari ujung kepala hingga kaki, membuatku risih.

“E-emangnya kenapa?” tanyaku sambil membentuk X di dada dengan kedua tanganku.

“Dari look-nya, lo gak cocok jadi ART. Instagram-able,” jawabnya.

Aku melihat pakaian yang aku kenakan, dan memang benar sih. Terlalu keren untuk seorang ART.

“Lo yakin nih? Bisa kerjain tugas-tugas ART gak nanti?” tanyanya lagi.

Sejenak aku berdiam. Memang di rumah aku malas, ditambah lagi sudah ada Mbok Asri, Asisten di rumahku. Tapi aku sering memperhatikan ia bekerja dan aku yakin aku bisa.

“Gue belum pernah sih ngurusin rumah,” kataku.

Jika orang lain bisa, kenapa aku tidak? Walaupun aku tidak berpengalaman, aku yakin lambat laun aku pasti bisa mengerjakan tugas seorang asisten rumah tangga.

“Lo jangan nyebut kata 'gue-lo' lagi, ya.”

Aku mengangkat telapak tangan, menyentuhkan jari tengah ke pelipis kanan. “Siap, Tuan.”

“Bagus.”

Kemudian Gilang membuka pintu rumah, melangkahkan kaki dan aku berjalan di belakangnya. Dia mengarahkanku menghadap orang-orang rumah yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Mereka terpukau melihat kedatanganku.

“Wah, Bang. Pacar lo ya? Cakep bener,” tukas lelaki yang mengenakan seragam putih abu-abu.

“Apaan sih bocah?!” Anak laki-laki itu menyengir kuda. “Dia bukan pacar gue, tapi dia yang akan gantiin Bi Surti.”

Mereka terdiam dengan mulut menganga seakan tidak percaya dengan ucapan Gilang. Ya, mungkin karena setelan yang aku kenakan sama sekali tidak terlihat seperti pakaian asisten rumah tangga pada umumnya.

“Bang, lo bercanda, ya?” tanya gadis cantik yang sepertinya seumuran denganku.

Gilang menggeleng.

“Saya beneran mau jadi ART di sini, kok.” Aku tersenyum kepada empat orang di depanku. Yakni, dua laki-laki dan dua perempuan.

Wanita paruh baya beranjak dari bangku empuk dan melangkahkan mendekatiku. Tangannya menyentuh pundakku. “Berapa usiamu, Nak?”

Suaranya lembut dan dari wajahnya, dia terlihat begitu ramah.

“Beberapa bulan lagi delapan belas tahun.”

“Masih muda sekali. Baru lulus sekolah, ya?” tanyanya. Aku mengangguk pelan.

“Sayang sekali kalo jadi ART,” katanya sambil melihatku dengan tatapan prihatin.

“Gak papa, Bu,” kataku yang diakhiri dengan senyuman.

Kemudian ia memanggil ART lain yang bertugas di dapur untuk memberiku minum. Lalu ia memberitahuku mengenai tugas yang akan aku kerjakan nantinya dan juga gaji.

Setelah itu Arumi, wanita paruh baya yang merupakan Ibu di keluarga ini mengenalkanku kepada anak-anaknya.

Adnan Malik, anak sulung di keluarga ini. Usianya 29 tahun, belum menikah. Padahal ia tampan, ia juga terlihat baik.

Harta Tahta AlitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang