25. Sandal terbang

649 37 0
                                    

Jangan jadi silent readers ya ^_^


Semua sudah aku persiapkan untuk malam ini dengan dibantu sahabatku, Adi. Ya, walaupun ini sedikit konyol karena aku menyetujui persyaratan yang diajukan sahabatku itu agar ia mau membantuku dekat dengan Alita.

Sebenarnya aku sudah tahu Adi naksir dengan adikku, Gea. Aku juga tahu kalau Adi diam-diam menggoda Gea, namun aku tetap berpura-pura tidak melihatnya selagi Adi tidak berbuat macam-macam dengan adik perempuanku. Ya, Adi meminta restu dariku untuk dekat dengan Gea, ia juga memintaku untuk membantu mendapatkan hati adik perempuanku itu.

Sebenarnya aku ragu. Gea sendiri sedang dekat dengan laki-laki yang entah itu pacar atau mungkin hanya temannya. Yang pasti aku bisa melihat bahwa Gea menyukai laki-laki tersebut.

Kami sudah duduk di kursi masing-masing yang menghadap meja makan yang belum siap sepenuhnya dengan makanan, kecuali mas Adnan. Tunggu, dimana pria itu? Sejak sore aku belum melihatnya. Apa dia sangat sibuk di kampus. Ah sudahlah. Aku yakin Mas Adnan bisa menangani urusannya sebagai Dosen.

Shit! Aku tidak suka melihat pemandangan di depan mataku. Alif yang bukan anak kecil lagi sangat manja. Ia memiringkan ponselnya seperti sedang memainkan sesuatu, sementara kepalanya menyandar pada lengan Appa seakan merasa dia lah anak satu-satunya, Appa pun mengelus-elus rambut Alif. Menyebalkan!

Semua makanan sudah lengkap di atas meja berbentuk persegi panjang di depan kami.
"Apa makan malamnya bisa segera dimulai?" tanyaku sedikit kesal menatap Alif. Aku ingin secepatnya meninggalkan tempat ini.

"Tunggu Abang kalian dulu yah.." tutur Appa.

Aku menghembuskan napas berat, lalu mencoba menghubungi Mas Adnan untuk menanyakan apakah ia masih lama atau sebentar dengan urusannya. Jika sebentar, kami akan menunggunya. Tapi jika lama, kami akan segera melahap makanan kami.

"Mas, apa Mas Adnan masih lama pulangnya?" aku bertanya tanpa basa-basi setelah telepon terhubung.

"Ini lagi di jalan, bentar lagi sampe kok." jawabnya.

"Ok. Hati-hati di jalan." tukasku sebelum telepon berakhir.

Menit demi menit berlalu, kami masih menunggu Mas Adnan. Aku semakin muak melihat si bungsu yang bermanja pada Appa seperti anak perempuan.

Ctak!

Gea mengetuk keras pucuk kepala Alif. Aku berasumsi bahwa gadis itu pun sama kesalnya saat melihat sikap manja Alif.
Alif membulatkan matanya menatap Gea sambil mengusap kepalanya, Gea juga menatap balik seakan menantangnya. Dan aku bisa menebak kalau Appa menahan tawa, sementara Mamah mencoba melerai mereka sebelum bertengkar lebih jauh.

Namun tidak lama kemudian, Mas Adnan datang mencuri perhatian kami. Rambutnya basah dan pakaiannya antara kering dan basah. Apa dia kehujanan? Tapi bukankah hari ini cuaca cerah?

"Kamu dari mana, Nak?" tanya Appa seraya beranjak dari kursinya.

"Kalian makan duluan aja. Aku mau mandi dulu." tukas Mas Adnan sebelum Appa sampai di hadapannya, lalu pria itu pergi begitu saja.

Appa kembali ke kursinya dengan wajah muram. Ah, pria itu— membuatku kesal karena telah mengabaikan Appa.

"Duh Adnan.."

Appa menahan tangan Mamah yang hendak beranjak dari kursinya. Aku rasa, ia akan menegur Mas Adnan.

Mas Adnan pria yang hangat. Tapi entah kenapa, ia selalu bersikap dingin terhadap Appa seperti orang asing. Apa ia belum bisa menerima Appa yang menggantikan mendiang ayahnya?

***


Adnan menepuk dahinya berkali-kali. Ia menyesali apa yang telah ia perbuat terhadap Alita tadi. Bisa-bisanya ia tidak bisa mengendalikan syahwatnya hingga ia mencium bibir gadis itu. Padahal ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mencium wanita sebelum ia menikahinya. Mungkin karena usianya yang sudah dibilang matang itu lah yang membuatnya menggebu-gebu ingin merasakan 'itu'. Kau tahu maksudku?

Harta Tahta AlitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang