6. Shit!

1.8K 139 1
                                        

Andi menarik kursi ke belakang, mempersilahkan Mamanya, Naurah untuk duduk.

Kini Naurah, Andi serta istri dan anaknya sudah di rumah keluarga Syahab.

“Pasti Mama kangen banget ya sama Al?” tanya Andi tatkala melihat Naurah yang terus melihat kue putri di hadapannya yang berukuran lebih besar dari biasanya, kue favorit Alita hingga menggantikan kue tart ketika gadis itu ulang tahun.

“Assalamu'alaikum,” ucap Arman seraya berjalan menuju bangku empuk yang menghadap televisi.

Andi mencari sumber suara tersebut, ia langsung tersenyum menyambut hangat Papah.

“Wa'alaikum salam,” sahutnya, kemudian Andi mencium punggung tangan ayahnya dan Arman mengusap kepala Andi. Istrinya langsung berdiri menyalami Arman, ia juga memerintahkan anaknya, Emilie yang sudah berusia 4 tahun ikut menyalami.

“Anak pintar,” puji Arman, lantas ia mengecup pipi Emilie bertubi-tubi.

“Udah lama?” tanya Arman seraya meletakan tas laptop miliknya di atas meja.

“Nggak kok, Pa. Kita baru aja di sini,” jawab Andi.

Arman tertegun melihat kue putri di meja, teringat dengan anak bungsunya yang bandel. Sebenarnya pria paruh baya itu tidak tega menyuruh Alita untuk mengangkat kaki dari rumah, dan ia juga tidak benar-benar mengusir Alita. Ia hanya menggertak saja, namun lain bagi Alita. Hatinya sakit dan akhirnya ia mencari lowongan di media sosial pada saat itu, dan esoknya langsung berangkat.

Naurah sudah menahannya untuk tidak pergi, namun Alita tetap berpegang teguh pada pendiriannya.

Untuk apa dia di sini kalau kepala keluarga di rumah ini tidak menginginkan keberadaannya?

“Ma, kita makan bareng-bareng yuk kuenya,” tukas Arman sambil mengusap lembut pundak Naurah.

Naurah menatap Arman dengan mata yang berkaca-kaca. “Pa, Mama mohon, Papah bujuk Alita pulang.”

“Nggak, Ma. Ini pelajaran buat dia. Biar dia sadar diri," jelas Arman membuat Naurah kembali menitikkan air mata.

"Tapi, Pa. Apa itu nggak keterlaluan?" tanya Andi, istrinya mengangguk menyetujui pertanyaan dari anak sulungnya itu.

"Papa rasa sih nggak. Nanti Papa cari keberadaannya terus pantau dia, lihat apa dia berubah atau enggak. Kalo dia berubah jadi lebih baik, Papa bakal minta dia tinggal di rumah ini lagi," ujar Arman.

Tapi tetap saja, menurut Andi itu cara yang salah. Sebagai seorang Kakak, ia menghawatirkan Alita walau adiknya itu dikatagorikan anak yang bandel, suka membantahnya.

***


“Kok syok gitu?” Adnan tertawa kecil melihat ekspresi Alita. Sementara temannya, Dea menggulung mi dengan sumpit lantas memasukkan ke mulutnya sambil menatap kikuk Dosen killer itu.

Alita yang masih memiringkan wajahnya menghadap Adnan, tiba-tiba saja ia merasakan gatal di hidungnya.

Adnan mengambil topi yang Alita kenakan untuk menutupi wajahnya.

Hatcuuuhhhh..

Adnan berhasil melindungi wajahnya sedetik sebelum Alita bersin sehingga ia tidak terkena percikan-percikan yang keluar dari hidung dan mulut Alita.

Kemudian Adnan menurunkan topi yang menutup wajahnya itu. “Untung saya gerak cepat,” tukasnya.

Kemudian Adnan merapihkan rambut Alita yang sedikit berantakan karena ia menariknya terlalu cepat. Ya, Adnan harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, walau itu hanya hal kecil.

Harta Tahta AlitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang