5. Bad Girl

1.9K 146 1
                                        

Alita memijat pelipisnya, ia harus melanjutkan menjemur pakaian-pakaian majikannya walau kepalanya sudah terasa sakit.

Gadis itu berjalan sempoyongan menuruni tangga memasuki rumah. Mungkin mandi akan membuat tubuhnya segar kembali, dan lagi ia sudah merasa sangat gerah ditambah kulitnya yang sudah lengket membuatnya tak nyaman.

Alita merebahkan tubuhnya sejenak di kasurnya guna memulihkan tenaganya.

"Capek banget yah, Al." Suara itu membuat Alita beringsut duduk. Gadis itu menggeleng pelan sambil tersenyum melihat Bi Asih yang berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Biasa aja kok, Bi. Gak terlalu capek. Cuma agak pusing aja lama-lama berdiri di bawah sinar matahari," jelasnya.

Wanita dengan kerutan-kerutan di wajahnya itu melangkahkan kaki mendekati Alita lantas duduk di sebelahnya.

"Yaudah, Bibi ke dapur dulu ya ambil bawang merah," pamit Bi Asih seraya mengusap lembut rambut Alita, lalu Bi Asih melangkahkan kembali kakinya keluar dari kamar Alita, sementara gadis itu diam kebingungan.

Pusing dan bawang merah? Apa hubungannya?

Tidak lama kemudian, Bi Asih datang kembali dengan bawang dan pisau kecil. Ia duduk di tepi kasur, meminta Alita meletakan kepala di atas kedua pahanya. Lalu Bi Asih mengiris bagian ujung bawang dan memijat kepala Alita bagian dahi ke ubun-ubun, beralih ke leher belakangnya.

Gadis itu menangis haru karena Bi Asih sangat peduli dengannya, ia jadi rindu dengan ibunya di rumah. Sosok wanita yang mengompres dahinya di kala ia tengah sakit, menasehatinya dikala ia tengah bermasalah dengan teman sekolahnya agar ia tidak lagi badung. Walaupun ia melakukan kesalahan lagi, sosok yang disebutnya 'Ibu' itu tidak pernah bosan menasehatinya.

"Kenapa nangis?" tanya Bi Asih. Ia berpikir bawang telah membuat matanya perih karena tidak terbiasa.

Alita menggeleng dan mengusap air matanya sambil tersenyum, menandakan ia baik-baik saja.
"Bi," panggilnya, wanita dengan kerutan-kerutan di kulitnya itu menatapnya.

"Boleh nggak, Al panggil Bi Asih dengan sebutan 'Ibu'?" Air mata Alita menetes kembali.

Bi Asih tersenyum. "Boleh, Sayang," jawabnya sambil mengusap lembut rambut Alita, membuat wajah sayunya menjadi berseri.

"Sekarang gimana? Masih sakit nggak kepalanya?" tanya Bi Asih, suaranya terdengar lembut.

"Mendingan, Bu."

"Syukurlah. Kamu tiduran atau tidur aja dulu sampe dzuhur, terus salat, habis itu kita makan siang bareng."

"Baik."

Kemudian Bi Asih berdiri, melangkah keluar dari kamar Alita. Ia juga tidak lupa menutup pintunya.

***

Naurah menyeka air matanya, melihat kue putri yang baru saja selesai dikukus.

Wanita paruh baya itu teringat dengan anak gadisnya, Alita Syahab. Apakah putrinya itu berada di tempat yang aman? Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah ia sudah makan?

Andai saja gadis itu mendengar nasehat-nasehat Naurah, ia tidak akan diusir ayahnya, Arman Syahab.
Bukan karena Arman sudah tidak sayang lagi, hanya saja ia ingin memberi pelajaran dan akan mencari lantas menjemputnya untuk kembali ke rumah setelah ia menjadi anak yang penurut. Sebab, selama ini Alita sering membantah perintah dari Arman.

Tepukan tangan yang lembut di bahu Naurah membuatnya tersentak dan spontan menghapus air matanya.
"Mah... Ada apa?" tanya Andi, anak tertua Naurah dan Arman.

Harta Tahta AlitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang