26. Obat kangen

521 34 3
                                    

Alita mengerucutkan bibirnya karena sedari tadi tak kunjung mendapatkan jawaban dari panggilannya. Gadis itu menghela napas panjang lantas melempar tubuhnya ke kasur dalam posisi tengkurep. Ia berusaha untuk berpikir positif. Mungkin Adnan kelelahan dan tertidur pulas sehingga tidak sempat mengangkat panggilan darinya.

Malam telah berlalu dan sekarang waktunya sang matahari menggantikan tathta sang bulan untuk menerangi bumi.

Gadis yang memiliki senyum manis baru saja bangun dari tidurnya, tanpa bermimpi. Ia mengerjapkan matanya perlahan dan membiarkan indra penglihatannya menangkap sinar matahari yang menelusup dari bebarapa ventilasi udara, di atas jendela kamar. Kemudian ia beranjak dari tempat tidur tanpa semangat padahal kemarin merupakan hari yang menyenangkan karena ia habiskan bersama seorang pria dewasa yang ia sukai.

Alita memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuhnya setelah itu ia keluar dan duduk di kursi yang menghadap meja makan. Di sana, seorang wanita paruh baya menyambut dengan menu sarapan yang sudah siap disantap, wanita itu juga menyapanya dengan hangat sehingga mendapatkan senyum dari gadis itu.

Hidup dengan hanya makan, tidur, bangun dan makan lagi ternyata membosankan. Alita harus mengambil keputusan agar hari-harinya berlalu tidak bosan. Ia butuh tantangan.

Pagi menjelang siang, Kakak pertamanya pulang setelah menginap di rumah orang tua mereka. Alita yang sedang duduk di bangku empuk ruang utama keluarga termenung dengan keputusannya yang salah perihal tidak melanjutkan pendidikannya setalah lulus SMA.

Lamunannya pecah saat mendengar suara ketukkan dari langkah kaki. Ia menoleh cepat melihat Andi yang berjalan menghampirinya sambil tersenyum hangat. Dilihat dari keadaan sekarang, Andi tahu bahwa adiknya memang merasa bosan.

"Mau liburan?" Kini Andi sudah duduk di samping Alita, ia juga mengelus lembut kepala adik bungsunya itu.

"Mau." Alita beranjak dari bangku empuk dan berjalan lebih jauh dari sana.

Kini ia berdiri membelakangi Andi,  "Apalagi kalo Abang ngajak temen Abang juga. Hehe," lanjutnya sambil menoleh. Gadis itu menyengir kuda, wajahnya terlihat sumringah.

"Adnan?"

"Ya. Memangnya siapa lagi?"

Pertanyaan Alita membuat Andi tertawa singkat lalu memasang wajah datar. Andi semakin yakin bahwa adiknya itu memang menyukai sahabatnya itu.

"Lo gak mau liburan sama keluarga?"

"Bukannya Abang juga bagian dari keluarga?"

Kemudian Andi pun beranjak dari bangku empuk tersebut dan berdiri mensejajarkan Alita. "Maksud gue.. Papa sama Mama. Kakak lo juga, Anita?"

"Tapi.. Apa nanti Papa bakalan mau kalo pergi liburannya ada gue?" tanya sambil menatap Andi dengan wajah sendu.

Andi menghela napas panjang. Ia menghadap Alita, "Abang yakin, Papa mau," ucapnya sambil mengelus lembut pucuk kepala adiknya, tidak lupa dengan senyum hangat.

"Hmmm.. Papa kan gak suka. Dia gak  sayang gue, Bang. Makanya gue diusir dari rumah."

"Lo salah, Al. Papa sayang banget sama lo. Bahkan lebih sayang dari pada gue sama Anita." Alita menatap Andi, ia tidak yakin dengan perkataan Kakaknya yang mungkin saja hanya ingin menghiburnya.

"Kalo pun Papa ngusir lo dari rumah, itu bukan karena dia gak sayang. Tapi biar lo sadar. Gak males-malesan dan lanjut pendidikan lo. Papa cuma mau yang terbaik buat anak-anaknya. Papah cuma kasih lo gertakkan, Al. Tapi lo malah lihat dari sisi yang beda," ujar Andi panjang lebar.

Tanpa disadari, Alita telah menitikkan air matanya dan membasahi pipi. Gadis itu bungkam dalam tangisnya. Andi meraih tubuh Alita dan mendekapnya.

"Lo tau gak?" perlahan Andi melepas pelukannya.

Harta Tahta AlitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang