Aku merebahkan tubuhku di atas kasur setelah meletakan ponsel di nakas. Aku merasa senang saat melakukan panggilan video dengan pria itu dan mengatakan bahwa ia sudah merindukanku padahal belum lama kita bertemu. Apa itu tidak terlalu konyol?
Astaga. Ada apa denganku? Kenapa aku tidak bisa berhenti tersenyum saat membayangkan wajah tampannya?
Aku beringsut duduk dan menarik laci meja nakas, mengambil benda yang mampu memantulkan bayanganku. Aku tertegun saat melihat benda mengkilap itu dan mendapati pipiku yang memerah. Apakah saat melakukan panggilan video tadi pipiku sudah memerah? Astaga. Aku malu sekali, pasti wajahku sudah seperti badut.
Aku merebahkan kembali tubuhku, memejamkan mataku dan membukanya lagi saat bayangan wajah Mas Gilang terlintas. Tiba-tiba saja aku teringat dengan laki-laki yang seharian ini tidak terlihat batang hidungnya. Maksudku, sejak pukul 9:30 pagi tadi. Apakah ia sudah pulang? Entahlah. Aku merindukan laki-laki itu.
Sudahlah. Otakku lelah memikirkan dua pria sekaligus di rumah ini. Mungkin tidur bisa menyegarkan otakku.
***
Nyanyian burung di pagi hari menelusup lembut di telingaku. Aku mengucek mata dan mengerjapkannya, lalu meregangkan kedua tangan serta kakiku. Aku merasa tubuhku segar saat bangun di pagi hari dan kulihat, kakiku sudah tidak membengkak lagi, tentunya rasa sakitnya pun sudah menghilang.
Entahlah, semenjak tinggal di rumah ini, rasa malas yang biasanya menguasai diriku sudah tidak ada lagi, dan yang ada hanyalah semangat. Ya, aku akan memulai kegiatanku kembali setelah sehari yang lalu diperlakukan manja oleh pria termatang di rumah ini.
Aku membersihkan tubuh terlebih dulu, kemudian mengumpulkan pakaian-pakaian kotor milik ketiga pria di rumah ini dan langsung menyapu lantai sambil menunggu mesin cuci menyelesaikan tugasnya.
Aku tertegun, tangan kekar menyentuh pergelangan tanganku ketika hendak mengambil sapu. Aku memutar tubuh spontan, sejak kapan Mas Adnan di sini?
Tangan kanannya menggusel rambutku gemas. “Siapa yang nyuruh kamu beres-beres?” tanyanya.
Sementara aku hanya sibuk merapihkan rambut tanpa menatapnya. “Gak ada,” jawabku singkat.
“Lalu?” Mas Adnan berkacak pinggang dan sudut bibir kanannya tertarik ke samping seakan merasa kesal padaku.
Aku menundukkan kepala, menyatukan kedua tangan dan memainkan kaki kanan, menggesekkannya ke lantai. “Ini kan udah jadi tugasku, Mas.”
Kemudian terdengar suara helaan napas, aku mengangkat kembali wajahku dan melihat Mas Adnan mendongak sekilas. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya, menyejajarkan kepalanya dengan kepalaku. Aku berasumsi bahwa wajah kami hanya berjarak 3 inci saja.
“Udah berani jawab ya kamu!” Suaranya pelan akan tetapi terdengar seperti mengancamku.
Aku mengembuskan napas berat setelah mendengar kalimat yang baru saja ia katakan. Jika seseorang bertanya, sudah sepatutnya dijawab kan? Hmm... Dia aneh.
“Jadi—” Aku menggantung ucapan seraya mendorong perlahan dadanya yang kokoh, hingga tubuhnya kembali tegak. “Aku harus apa?”
Mas Adnan menyeringai setelah mendengar pertanyaan itu. Entahlah, aku merasa ada hawa aneh saat melihatnya, hingga jantungku berdegup kencang. Semakin kencang saat Mas Adnan mulai mendekatkan wajahnya. Aku melangkah perlahan mundur berusaha menjauhinya namun sialnya, ia juga melangkahkan kaki hingga tubuhku terpojokkan dengan tangan kanannya yang menapak pada tembok, sementara tangan lainnya memegang daguku dan menariknya ke bawah sehingga bibirku terbuka.
Bola matanya yang fokus pada bibir membuatku memanas, ditambah lagi gerakan kepalanya yang perlahan mendekat dan miring ke kanan semakin membuatku penas. Lebih panas dari 3 detik sebelumnya, rasanya seperti terbakar. Mungkinkah ia akan—

KAMU SEDANG MEMBACA
Harta Tahta Alita
RomanceCOMPLETED ✓ Ini bukan cerita tentang perebutan harta, bukan juga tentang berebut kedudukan atau tahta. Tapi ini cerita tentang tiga laki-laki tampan dalam satu rumah yang berebut hati Alita. "Gue dulu, jadi Alita itu milik gue!" hardik pria yang men...