Dyka berjalan gontai tanpa arah, dia bingung harus pergi kemana. Sang papa, keluarga satu-satunya pun tidak percaya padanya. Bayangan saat ia diusir terngiang di otaknya, bagaimana amarah papanya sudah tak terkendali. Ia pasrah dan bingung, sekaligus kesal karena papanya tak mempercayai dirinya dan malah tak sudi menganggap bahwa ia adalah anaknya. Ia benci akan nasibnya yang seperti ini.
Padahal, tes urine membuktikan bahwa dia bukan pemakai. Namun malah terpojok sebagai pengedar, sial bukan? Masa bodo apa yang terjadi esok, karena kepala sekolah memberikan waktu kesempatan hanya 2 hari. Ia ingin sekali mengakhiri hidupnya saat ini juga, namun ia tidak ingin dikatakan payah oleh hatersnya di dunia nyata.
Tiba Dyka di rumah tua peninggalan mendiang kakek dan neneknya dulu yang tak jauh dari sekolahnya. Dyka sungguh rindu suasana rumah ini, "Kek, nek, ma? Dyka pengen ketemu," gumam Dyka menatap langit - langit rumah tua. Dyka mulai membersihkan rumah ini, dan setelahnya dia terpejam.
"Dyka?"
Panggil lembut seseorang entah siapa Dyka sendiri tak tau. Dan itu pun terulang sampai empat kali dengan mengelus lembut pipi membuatnya membuka mata perlahan. Menengok sekilas kesamping kanan dan kiri tidak ada siapa pun. Apa tadi ia hanya mimpi atau halusinasi? Diusapnya muka Dyka berulang kali, ia frustasi.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah, entah kenapa ia sedikit merinding dibuatnya. Dia meneguk salivanya berkali-kali, ditarik nafasnya perlahan dan mulai membuka pintu. Dan yah, yang dilihatnya seorang gadis yang selalu merecokinya akhir-akhir ini. "Mau apa lo?" Sinisnya melipat kedua tangannya di depan dada bidangnya.
Gadis itu tersenyum, lalu nyelonong masuk ke dalam rumah tanpa di persilahkan terlebih dahulu. Dyka berdecak dan memutar bola matanya jengah, lalu ikut mengekor gadis itu.
"Dyka? Apa kabar?" Senyum manis gadis itu.
"Gak baik!" Ketus Dyka sangat jujur.
"Eumm... Masalah di sekolah ya?" Dyka hanya melirik Melody enggan dan berdehem mengiyakan. "Pikirkan seseorang yang menurut Dyka adalah pelakunya! Kalo nggak, di kelas Dyka ada CCTV-nya gak? Kenapa gak di lihat dari situ?"
"CCTV kelas?" Gumam Dyka berfikir. "Ah iya, ide brilian! Gak nyangka lo pinter." Senang Dyka yang refleks memeluk tubuh mungil Melody.
Sedangkan Melody yang mendapat serangan tiba-tiba auto kaget dan mengerjapkan mata berkali-kali tak percaya, kemudian ia tersenyum manis membalas pelukan hangat Dyka.
"Ini bukan mimpikan?" Batin Melody masih tak percaya dengan perlakuan Dyka yang spontan membuat degup jantungnya berdetak lebih cepat.
Dyka yang baru menyadari apa yang dilakukannya tersenyum dan mengeratkan pelukannya.
"Makasih!" Celetuk Dyka yang kaget sendiri dengan ucapannya barusan, begitu pula sebaliknya. Melody merasakan hatinya menghangat mendengar satu kata yang baru pertama kalinya ia dengar dari mulut Dyka.
Jujur saja ini baru pertama kalinya semenjak mamanya meninggal, Dyka yang tak pernah berterima kasih terhadap perempuan kini Dyka mengucapkannya dengan tulus walaupun dia sendiri kaget dengan ucapannya.
Dilepaskannya pelukan hangat mereka, hening kemudian menyeruak memenuhi ruangan. Dyka yang sudah memiliki ide langsung menarik tangan Melody. "Lo ikut gue!" Paksa Dyka, Melody mengekor dengan tangan ditarik paksa Dyka seenaknya.
Sesampainya di sekolah, Dyka auto meminta bantuan kepada pihak sekolah untuk mencari tempat CCTV. Dicarinya rekaman CCTV waktu kemarin di ruang kelasnya, di pause kemudian di foto. "Pak, saya minta video ini tolong kirim ke hp saya ya pak!" Pinta Dyka lega, akhirnya ada bukti yang cukup kuat untuk membersihkan namanya yang sudah tercemar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe [End]✔️
Teen Fiction"WOI! BISA AWAS GAK! GUA MAU SEKOLAH! " Bentak Dyka. Melody menaikkan sebelah alisnya. "Bohong! Aku tau kamu bohong. Kamu mau tawuran kan? " Tebak Melody yang sangat tepat. Dengan gaya tangan di pinggang. "Apa peduli lo! MINGGIR!" Bentaknya lagi...