"Bagi orang yang sangat menghargai waktu, menunggu adalah sebuah hal yang sia-sia."
******
Tiara keluar dari kampusnya, ia berjalan menuju halte bus. Hari ini ia tak membawa motornya karena tadi pagi Rafka memaksa ingin mengantar Tiara. Kapan lagi Tiara diantar kuliah oleh abangnya, terakhir kali mungkin sewaktu SMP ia diantar jemput oleh Rafka. Lagipula hari ini Rafka libur, jadi ia punya waktu luang.
Tiara merasakan ada yang menetes di kepalanya. Gerimis. Sadar akan perjalanannya masih lumayan jauh untuk menuju halte bus, Tiara mengeluarkan hoodie putihnya dari tas, ia memakainya lengkap dengan tudungnya. Dalam hati ia bimbang ingin berteduh atau tidak. Moodnya sedang kacau dan akan terasa sia-sia jika hanya menunggu hujan reda.
Sebenarnya ia ingin menelepon Rafka untuk menjemputnya, namun Tiara sedang ingin sendiri, jadi ia memilih naik bus.
"Kalo gue emang belum move on kenapa sih?! Salah emang?! Lagian gue cuma ngasih tau kenapa dia malah nyolot dan bahas masa lalu gue?!" gerutu Tiara selama di jalan.
BRESSS!!!!
Hujan turun semakin deras, alih-alih berlari untuk meneduh seperti orang-orang di sekitarnya, Tiara malah menghentikan langkahnya. Ia mendongak, menatap langit sehingga hujan menghantam wajahnya dengan leluasa.
"HUJAN LAGI, HUJAN TERUS AJA! CUMA LANGIT YANG NGERTI GIMANA PERASAAN GUE SEKARANG! DIA PASTI JUGA IKUTAN NANGIS KAYAK GUE SEKARANG!"
"APA BELUM MOVE ON DARI MANTAN ITU SUATU KESALAHAN?! HEI LANGIT, EMANG GUE SALAH KALO MASIH ADA RASA SAMA MANTAN?! GUE JUGA BENCI SAMA DIRI GUE YANG SUSAH BUAT NGELUPAIN DIA, GUE BENCI DIRI GUE YANG LEMAH INI! TAPI BUKANNYA SUATU PROSES ITU YANG AKAN MENJADIKAN KITA LEBIH KUAT?! HAH?!"
"KENAPA DIA BISA BAHAGIA SAMA YANG LAIN SEDANGKAN GUE ENGGAK?! INI NGGAK ADIL! GUE BENCI PERPISAHAN, APAPUN ALASANNYA GUE BENCI!"
Tiara berteriak dengan posisi yang masih sama, ia menatap langit seakan sedang bercerita dengan temannya. Langit yang hujan mampu melunturkan air matanya. Suara air hujan yang deras mampu meredam suaranya. Namun hujan, tak mampu meredam rasa marah dan sedihnya.
Jalanan terlihat mulai sepi karena orang-orang mencari tempat berteduh sehingga tak banyak yang menyaksikan aksi nekat Tiara. Hujan yang deras begitu cocok dengan kondisi Tiara saat ini. Sepi seperti hatinya dan air mata yang menetes dari matanya.
"BUAT APA PACARAN KALO AKHIRNYA PUTUS?! BUAT APA SAYANG KALO AKHIRNYA DITINGGALIN?! KETULUSAN NGGAK BISA DIBUKTIIN CUMA DENGAN KATA-KATA DAN BERUJUNG STATUS PACARAN. SEMUA PERASAAN ITU PALSU!"
Suara Tiara semakin serak. Perasaannya menjadi tak terkendali. Ia berteriak seolah jalanan adalah miliknya. Tangannya mengepal kuat, menahan rasa dingin yang mulai menyelimuti dirinya. Ia tak peduli dengan hujan yang semakin menghantam wajahnya hingga melunturkan semua air matanya dan membuat tubuhnya basah kuyup.
Tiara menghela napas, ia mulai merasakan lelah seketika akibat berteriak dengan penuh emosi.
"Kalo emang pada akhirnya gue tersakiti kayak gini, dari awal gue akan nolak Jefra. Gue nggak akan pernah mau pacaran sama dia. Gue capek hati, dan mereka nggak tau itu." ucap Tiara yang mulai sedikit tenang.
Beberapa saat kemudian Tiara menunduk, bahunya bergetar. Tangisnya kian pecah. Gadis itu menepuk pelan dadanya sendiri. Ada rasa sesak yang begitu hebat di dalam sana. Sesuatu yang selama ini ia pendam dan akhirnya bisa ia keluarkan lewat kata-kata. Ia tak kuat lagi menahan tangisnya. Perasaannya begitu hancur saat ini, mengingat kembali semua kenangan yang pernah ia lalui bersama Jefra, beserta ucapan Nada tadi. Semuanya bercampur menjadi satu dan seakan berputar kembali dalam pikiran Tiara.

KAMU SEDANG MEMBACA
MOVE ON
Teen FictionSebuah kisah patah hati dari seorang gadis yang pernah ditinggalkan oleh seseorang. Ditinggalkan tanpa alasan dan bersembunyi di balik kalimat 'kita putus baik-baik' adalah hal yang paling tak diduga olehnya. Berusaha untuk move on, ia dihadapkan ke...