36. Leave This Place!

509 42 1
                                    

Harry menyentuh pipiku dengan telapak tangannya. Memaksa wajahku mendongak ke arahnya. Keringat membasahi dahiku. Kurasa cuaca terlalu dingin, kenapa aku berkeringat?

Keringatku terhapus seketika ketika Harry menempelkan dahinya ke dahiku. Ia terpejam. Merasakan hembusan panas napas kami yang saling menyerang satu sama lain.

Aku memperhatikannya yang memejamkan mata. Begitu ragu untuk memajukan bibirnya ke arahku. Begitu keras genggaman tangannya ke pipiku, ingin menariknya lebih dekat. Namun terasa ada sesuatu yang menghalanginya.

Napasnya semakin memburu. Dapat kurasakan kekesalan menyerang diri Harry. Ia mengerut kedua halisnya dengan amarah. Kenapa ia tidak juga menciumku?

"Harry?" Aku berbisik. Memastikannya baik-baik saja.

Ia membuka matanya dan menatapku. Begitu teduh namun liar. Matanya berubah menjadi gelap. Tatapannya tertuju ke mataku. Namun kenapa dadaku yang sesak?

"Red." Dia balas berbisik lalu kembali menutup matanya.

Harry's PoV

Aku terpejam ketika melihat seribu tanda tanya besar di mata Red. Apa masih sanggup aku berdiri ketika lutut-lututku mulai melemas dibuatnya? Napas Red berhembus menaikkan bulu kudukku membuat sengatan gairahnya tertanam di diriku.

Aku berusaha menikmati momen ini. Begitu indah romansa yang kini sedang kualami.

Aku mencintai gadis ini.

Kenapa aku tak juga menciumnya?

"Cium dia Harry!" Kembali, Louis mengatakan hal yang serupa. Ini ketiga kalinya Louis menyuruhku untuk mencium Red. Tapi apa lagi yang menghalangiku?

"Semua kru harap berkumpul di tempat sekarang juga!!!" Suara itu membuyarkan Red dan semua usahaku untuk menarik perhatiannya. Red menoleh dan lari dari tatapanku.

Sial!!!

Red melepaskan pelukanku dan menuntunku ke lokasi. Dengan amat sangat terpaksa aku mengikutinya.

Saat kami melangkah ke lokasi, kami temukan memang semua kru sedang berkumpul dengan wajah yang panik. Aku juga melihat beberapa orang asing yang mengenakan kemeja seragam berwarna putih. Ada apa ini sebenarnya?

Niall dan Aubrey juga menghampiri kami. Niall langsung menatapku dengan kesal. "Udah belom?" Bisiknya. Aku menggeleng lesu. "Damn!!!" Rutuknya. Kurasa ia juga belum melancarkan aksinya.

Red melepas genggamannya dan menghampiri Nolan juga DeVito yang nampaknya sedang diwawancara itu.

Red's PoV

"Ada apa ini?" Aku memutus konversasi dan diam di tengah-tengah mereka. Lelaki itu menatap teman seseragamnya. "Haruskah kita beri tahu gadis ini? Kurasa ia terlalu muda untuk mengerti!" Ejeknya. Aku menatap Nolan meminta perlindungan. "Um. Maaf. Tapi dia yang berperan dalam pembuatan film ini!" Aku mengangguk ke arah lelaki asing ini. Lalu the boys dan Aubrey mulai datang menghampiri.

"Begini." Ucapnya sambil membuka sehelai kertas. "Untuk pembuatan film saudara harus mempunyai Surat Ijin Usaha Penerbitan. Untuk pengurusan surat ijin tersebut saudara dapat mencari informasi kepada departemen perhubungan, banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pengurusannya. Dan banyak juya surat-surat yang harus Anda serahkan. Apa lagi Anda bukan warga negara German. Mengenai syuting, lokasi yang diambil saudara dapat tentukan. Pada saat saudara mengisi formulir tersebut ada syarat-syarat yang juga harus saudara penuhi dan taati selama syuting berlangsung. Mngenai ijin tayang saudara harus meminta permohonan kepada Lembaga Sensor Film sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan. Apa Anda sudah memenuhi kriteria tersebut?" Jelasnya panjang lebar membuatku tertunduk. Bagaimana bisa ini semua terjadi?

Aku menggelengkan kepalaku dengan gugup. Lalu Harry merampas kertas itu dan membacanya tidak percaya. "Seharusnya Anda teliti. Ini hukum! Jika semua orang bisa membuat seperti ini, apalah harga sebuah film?" Katanya membuatku semakin jatuh. Semua kru juga ikut terdiam. "Mana produser film-nya? Lalu bekerja sama dengan siapa Anda?" Tanyanya bertubi-tubi. Kami tidak memiliki produser maupun sponsor. Apalagi label film.

"Cukup!!! Apa mau kalian sekarang?" Tanya Aubrey.

Mereka terdiam seperti tidak enak mengatakan apa yang harus kami lakukan.

"Kemasi barang-barang kalian dan pulang ke Inggris!" Perintahnya membuat semua kru membuka mulut dan matanya lebar-lebar.

"Tidak bisakah kami urus semua surat-surat itu sekarang?" Aku memohon. "Kami masih punya banyak waktu untuk melakukannya." Tambahku. Mereka menggelengkan kepalanya.

"Dengan kejadian ini kalian sudah menunjukkan kelalaian kalian. Kami tidak bisa memercayai kalian lagi. Harap mengerti!" Katanya dengan tegas.

"Siapa yang melaporkan semua ini?" Tanya Harry. "Civil War. Mereka melaporkan semua ini. Pemilik pulau ini juga. Mereka bilang kalian mengganggu kepuasan pengunjung. Banyak visitor yang kecewa karena tempat ini sudah kalian sewa secara ILEGAL." Tekannya membuat kami bungkam. Tapi, Civil War? Bukankah mereka pernah menolak tawaranku?

"Cepatlah. Kami tidak punya banyak waktu!" Paksanya. Ingin sekali aku bunuh diri kali ini. "Silahkan kalian pulang. Kami pastikan besok tempat ini sudah kosong." Pernyataan DeVito langsung membuat ekspresi kecewa terlukis dari semua kru film. DeVito lalu membereskan berkas-berkasnya dan pergi dari hadapan kami. Orang-orang itu mengangguk. "Baiklah. Kami akan kembali besok pagi untuk memastikan tempat ini benar-benar dikosongkan." Tekannya. Mereka pun pergi setelah Nolan pergi dari hadapan kami.

"Kenapa bisa kayak gini sih kejadiannya?" Gerutu Liam dengan nadanya yang keras. Aku mendongak dan menatapnya tajam. "Bukannya ini semua rencana lo ya? Kalau aja lo gak pernah rencanain semua kita gak bakalan kayak gini!!!" Balasku membuatnya tersinggung. Lalu Louis maju membela Liam. "Terus kenapa lo bilang iya waktu Liam ngusulin semua ini hah? Kalau lo gak bilang iya, semua ini gak akan kejadian!!!" Teriaknya.

Lalu Aubrey melangkah dan menahan tubuh Louis yang semakin maju menghampiriku. "Udah!!! Kalian kenapa sih? Ini gara-gara kelalaian kita!!! Gak ada yang bener. Kita semua salah! Sekarang kita tinggal kemasi barang-barang dan pergi dari sini." Tekan Aubrey. "Terus gimana sama kerja keras kita selama ini?" Tanya Zayn. "Anggap aja buat beli pengalaman." Suara Aubrey melirih. "Gampang ya lo ngomong gitu? Terus utang-utang kita yang menggunung itu mau kita bayar pake apa? Duit semua habis buat film ini! Mana timbal baliknya?" Teriak Zayn di depan wajah Aubrey. Aku dan Niall melangkah membela Aubrey. "Kita juga ngalamin yang sama Zayn! Bukan lo aja!!!" Tambahku sambil mendorongnya karena jaraknya memarahi Aubrey sudah kelewatan. "Santai dong mereka ini cewek!!!" Semprot Harry selagi Niall menahan tubuh Zayn. "Ini semua gara-gara kalian fokus pacaran! Jadi hal kecil gini gak ke urus!" Tambah Zayn. "Kenapa lo kait-kaitin semua ini?" Harry bertindak. "Loh. Emang bener kan?" Louis membela Zayn.

"Udah! Sekarang balik!!! Kirain kenal cewek ini.." Kata Liam sambil menunjukku. "Bakal rubah nasib kita lebih baik! Ternyata." Liam mendengus kesal. Lalu melewatiku dengan menabrak bahuku secara sengaja. Aku perhatikan langkahnya yang begitu kejam. Dia pun meludah dengan arogan. Aku memperhatikannya sampai Liam benar-benar hilang dari tatapanku.

Tak lama Zayn dan Louis menyusul. Hanya tinggal aku, Aubrey, Harry dan Niall yang tertunduk.

Tiba-tiba kurasakan mataku yang membasah. Memikirkan akan jadi apa aku setelah ini? Apa seorang narapidana? Apa seorang gembel? Atau sebuah mayat depresi? Tidak. Itu berlebihan.

Harry merangkul bahuku.

"Get away!!!" Bentakku menghempaskan pelukan Harry seketika membuatnya terperanjat. Aubrey dan Niall pun memperhatikan kami. "Lo gak denger kata temen-temen lo? Semua ini terbengkalai karena kita kayak gini! Gak profesional!!!" Bentakku sesekali menyeka air mata.

Harry, Niall dan Aubrey masih mematung saat aku pergi dari hadapan mereka dengan cepat.

My Wattpad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang