Sesuai saran dari Adelina, Feyzia kembali menunjukkan rekaman kamera CCTV yang tertunda tadi pagi kepada kedua orangtuanya yang sedang duduk santai di ruang keluarga.
Usai melihat rekaman itu, Farah lantas berdiri di depan Feyzia dengan ekspresi marah. "Mami tahu kau tidak pernah menginginkan perjodohan ini, tetapi jangan memanipulasi rekaman ini hingga terlihat seolah-olah Davin berada di posisi yang bersalah!" sergahnya.
"Aku tidak memanipulasinya, Mi. Davin memang bersalah," lirih Feyzia. "Dia juga sudah membohongi kita semua. Dia bilang bahwa ayahnya hanya memanfaatkan pertemanan papi agar bisa mengambil saham papi untuk menambah kekayaannya."
Feyzia menunjukkan pergelangan tangannya yang masih sedikit membiru. "Mami lihat! Tanganku bisa seperti ini karena perbuatan Davin. Dia sudah-"
Farah menyela, "Cukup, Fey! Mami yakin pria asing kemarin sudah mengotori pikiranmu sehingga kau selalu menyalahkan Davin dan keluarganya. Baru pertama kali melihatnya saja, Mami sudah tahu jika pria itu tidak baik. Dia sudah memberi efek buruk padamu. Kau tidak boleh dekat-dekat dengan dia lagi!"
Feyzia berdiri seraya menatap berani ke arah ibunya. Mengeluarkan segala keluh-kesahnya yang selama ini dipendamnya dalam hati.
"Mami selalu saja melarangku berteman dengan pria mana pun. Apa salahnya, Mi? Aku sudah dewasa. Aku tahu mana yang baik dan yang tidak untuk menjadi temanku. Sedangkan, pria asing yang Mami sebut tadi ...," suaranya sedikit memelan, "dia adalah pria yang baik, Mi. Dia yang sudah menolongku dari Davin. Jika tidak ada dia saat itu, entah apa yang akan terjadi padaku sekarang."
Farah mengembuskan napas kasar. "Lihatlah sikapmu sekarang! Kau sudah berani menentang apa yang Mami ucapkan. Sebenarnya, apa yang sudah pria itu berikan padamu, Fey? Kenapa kau begitu membelanya? Sebelum kau mengenalnya, kau sangat penurut. Tidak pernah membantah atau pun menyela ucapan Mami, tetapi sekarang ... kau berubah, Fey."
"Aku tidak memihak kepada siapapun, Mi. Aku membela Brandon karena dia memang benar. Sikapku seperti ini karena Mami selalu saja melarangku. Aku tidak boleh ini, tidak boleh itu. Kenapa, Mi? Aku ... aku bukan anak kecil lagi, Mi. Aku bisa memutuskan apa yang terbaik untuk masa depanku sendiri, termasuk ... pria yang akan menjadi pasanganku kelak."
Erza yang sedari tadi diam, ikut berdiri di samping istrinya. "Jaga nada bicaramu itu, Fey! Tidak pantas kau berbicara seperti itu di depan ibumu sendiri!" hardiknya.
Feyzia diam sejenak. Menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku tidak bermaksud bicara kasar kepada mami, Pi. Aku hanya mengutarakan isi hatiku yang selama ini kupendam saja," balasnya dengan nada suara yang pelan.
Farah berusaha menahan air matanya agar tidak menangis di depan Feyzia. Erza mengambil alih untuk menjelaskan kepada Feyzia. "Kami sangat tahu bahwa kau sudah dewasa, Fey. Mami melarangmu bukan tanpa alasan. Kami hanya ingin kau tidak hidup dalam kesusahan nantinya. Oleh karena itu, kami menjodohkanmu dengan Davin. Apalagi, Papi juga sudah mengenal keluarganya dengan baik. Papi yakin, Davin adalah pria yang tepat untuk menjadi pasanganmu. Hidupmu bisa bahagia bila bersanding dengannya."
"Jika Papi dan Mami ingin melihatku bahagia," menatap kedua orangtuanya dengan tatapan yang berkaca-kaca, "kumohon ... batalkan pertunangan ini sebelum semuanya terlambat!"
"Apa pun alasanmu, pertunangan ini akan tetap berlangsung, Fey. Kau tidak bisa menolaknya," timpal Farah.
"Percayalah, Fey! Pilihan kami adalah yang terbaik untukmu," tambah Erza.
Merasa lelah bicara dengan kedua orangtuanya, Feyzia memilih mengakhirinya. "Suatu hari nanti, apa yang aku ucapkan ini akan terbukti kebenarannya. Bila saat itu tiba, Papi dan Mami akan tahu siapa Davin dan keluarganya yang sebenarnya," pungkasnya sebelum berlari menuju kamarnya.
✈✈✈
Feyzia menutup pintu kamarnya, lalu terduduk di pinggir ranjangnya sambil memeluk boneka beruangnya. Mengeluarkan segala kegundahannya dengan air mata yang keluar dari sudut matanya.
Beberapa menit kemudian setelah tangisannya mulai mereda, dia memutuskan untuk tidur. Berharap Tuhan memberinya sebuah keajaiban ketika dia terbangun esok hari.
Saat Feyzia akan memejamkan matanya, ponselnya berdering. Nama Brandon tertera di layar ponselnya. Senyumnya langsung terbentuk di bibirnya. "Halo."
"Halo, Fey. Apa kau sudah tidur?"
"Belum."
"Maaf, aku baru sempat meneleponmu sekarang."
"Tidak apa-apa, Bran. Aku tahu kau sangat sibuk."
"Emm ... kau sedang apa?"
"Sedang baring."
"Sambil memikirkanku?"
Feyzia tertawa ringan. "Kau terlalu percaya diri."
Brandon melirik jam di pergelangan tangannya. "Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Siapa tahu saja kau tidak bisa tidur karena terlalu memikirkanku."
Feyzia tersenyum lebar. Hanya mendengar suaranya saja, mampu membuat gadis itu kembali tersenyum dan melupakan kesedihannya sejenak. "Oh ya, kapan kau akan kembali ke sini?"
"Mungkin besok atau lusa. Aku juga belum tahu pasti. Tergantung cuacanya nanti bagaimana. Tadi saja, penerbangan sempat ditunda beberapa jam karena hujan sangat lebat di sini. Kenapa memangnya, Fey? Merindukanku, eh? Padahal, baru sehari kita tidak bertemu."
"Hah? Siapa yang merindukanmu?" elak Feyzia sambil mengulum senyum.
"Aku tahu kau sangat merindukanku. Buktinya, kau sedang tersenyum sekarang."
Feyzia terkejut. Kepalanya menoleh ke sisi kiri dan kanannya. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk. "Darimana kau tahu jika aku sedang tersenyum?"
Brandon tertawa. "Aku sengaja mengetesmu. Ternyata, dugaanku benar, ya? Kau memang sangat mudah ditebak, Fey."
Wajah Feyzia terasa memanas. Dia berusaha menahan rasa malunya karena ketahuan merindukan Brandon.
Setelah hening cukup lama, Brandon bertanya, "By the way, besok hari pertunanganmu, 'kan?"
Mendengar kata pertunangan membuat Feyzia kembali sedih. "Ya," jawabnya lemah. "Aku sangat berharap ada keajaiban yang bisa menggagalkan semuanya, Bran."
"Aku justru berharap sebaliknya, Fey."
Feyzia menautkan alisnya. "Apa maksudmu, Bran?"
"Aku sudah menyiapkan sebuah hadiah spesial untuk hari pertunanganmu besok. Maaf jika aku tidak bisa datang dan memberinya secara langsung kepada kalian. Aku-"
"Kau jahat, Bran!" Feyzia memutuskan sepihak panggilan itu, lalu melempar ponselnya ke sembarang arah. Buliran bening itu kembali membasahi wajahnya.
Hati Feyzia terasa pedih. Terluka oleh ucapan Brandon. Dia berharap pria itu datang dan membawanya pergi jauh. Namun, yang diucapkan Brandon itu berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan Feyzia.
"Aku tidak menginginkan hadiah atau apa pun darimu, Bran. Yang kuinginkan adalah kehadiranmu agar pertunanganku gagal. Buktikan jika kau memang mencintaiku, Bran! Jangan hanya berani mengungkapkannya di depan orangtuaku saja! Yakinkan aku jika kau benar-benar serius padaku!" ucap Feyzia di sela tangisannya.
Feyzia tidak tahu hadiah apa yang dimaksud Brandon. Dia langsung marah-marah tanpa menanyakannya lebih jelas kepada Brandon.
✈✈✈
Bersambung ... (13-04-2020)
Duh ... duh ... si Brandon bikin Feyzia sedih lagi. Kira-kira hadiah apa sih yang dimaksud Brandon? 🤔🤔
Ikut penasaran juga? 😆😆 sama ...
Ditunggu ya kelanjutannya ... 😙😙😙
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours, Captain!✔ (END)
RomanceFeyzia Dirahanto-seorang gadis yang sangat ingin menikmati masa mudanya seperti gadis lainnya. Bebas pergi ke mana pun, dengan siapa saja, dan bahkan naik motor. Namun, dia tidak pernah merasakan semua itu. Dia merasa terkekang oleh larangan-laranga...
