TIGA PULUH DELAPAN

981 85 13
                                    

Davin tersenyum mendengar Farah menyebut namanya. Tanpa membuka penyamarannya, Farah sudah tahu siapa dia sebenarnya. Berjalan ke arah meja kecil, lalu menyentuh pisau buah yang ada di atas meja.

"Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Tante. Andai pertunangan itu berhasil, mungkin sekarang aku sudah menjadi calon menantumu." Davin tersenyum kecut. "Nyatanya, pria asing itu yang sekarang menjadi tunangan Feyzia."

"Semua itu terjadi berawal dari ayahmu yang mengkhianati pertemanan dengan suamiku. Jika dia tidak licik dan serakah, mungkin saat ini kita sudah seperti keluarga besar. Untunglah, Tuhan menunjukkan betapa jahatnya keluarga kalian kepada kami sebelum semuanya terlambat."

Kata-kata Farah membuat Davin geram. Dia melempar pisau buah ke dinding. Hampir saja mengenai wajah Farah.

Seketika, Farah terpaku. Mulutnya langsung tertutup rapat ketika pisau itu melewati wajahnya. Dia tidak bisa membayangkan apa jadinya jika pisau itu tepat mengenai wajahnya.

"Kau tidak berhak berkata kasar tentang keluargaku, Wanita Tua!" Davin menghampiri Farah dengan langkah cepat. Kemudian, mengambil paksa bantal yang digunakan Farah sebagai penyangga kepala.

"Sekarang, aku adalah malaikat maut yang akan mencabut nyawamu, Wanita Tua!" Nada suara Davin terdengar menyeramkan membuat Farah bergidik ngeri.

Saat Davin bersiap akan menutup wajah Farah dengan bantal, Feyzia membuka pintu kamar mandi yang ada di dalam ruangan itu. Dia terkejut melihat aksi Davin yang akan membunuh ibunya.

"Hei, apa yang kau lakukan pada ibuku? Siapa kau sebenarnya?" gertak Feyzia.

Davin membuka penyamarannya, lalu tersenyum lebar. "Kau masih mengenaliku, Feyzia?"

Feyzia terkejut melihat Davin yang menyamar sebagai petugas kebersihan. "Davin?"

Davin tertawa kecil. "Ternyata, kau masih mengenaliku dengan baik, Fey."

Feyzia geram melihat senyuman Davin. "Keluar sekarang juga dari sini atau aku panggilkan—"

"Ingin memanggil siapa, Fey? Penjaga di depan yang sudah tertidur pulas atau suster yang bertugas di sini atau satpam yang berada di lantai dasar atau ... tunanganmu?" Davin tertawa keras.

"Sebelum bertindak, aku sudah membaca situasi di rumah sakit ini. Sekarang sedang jam makan siang. Suster yang bertugas sedang istirahat. Tunanganmu sedang pergi. Sedangkan, penjaga yang berdiri di depan, sudah tertidur pulas setelah aku memberinya minuman kopi yang sudah dicampur dengan obat tidur. Tidak kusangka, rencanaku bisa berjalan dengan mudah," sambungnya lagi.

Feyzia semakin geram. Dia berusaha menarik tangan Davin untuk keluar dari ruangan ibunya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Davin mengempas kuat tangan Feyzia dan mendorong tubuh Feyzia. Kepala gadis itu terbentur kuat ke dinding hingga tidak sadarkan diri.

"Feyzia ...!" teriak Farah sambil berderai air mata. "Bangun, Fey! Bangun!"

Davin menyeringai miring. "Percuma saja kau berteriak memanggil anakmu, Wanita Tua! Mungkin saja, anakmu itu sudah meninggal. Lihat saja! Dia tidak menyahut ketika kau memanggilnya. Aku akan mengantarmu ke pintu kematian agar kau bisa bertemu dengan anakmu itu."

"Tidak! Feyzia masih hidup. Dia hanya pingsan. Ini semua karena ulahmu sendiri, Davin. Kau akan menerima karma atas perbuatanmu ini! Pergi dari sini! Pergi!" Farah berusaha melawan dengan melempar benda apa pun yang ada di dekatnya. Namun, Davin bisa menghindar dari lemparan Farah dengan mudah.

Untuk mempersingkat waktu, Davin tak lagi menggunakan bantal sebagai media untuk membunuh Farah, melainkan dengan kedua tangannya sendiri. Dia mencekik leher Farah dengan sekuat tenaga.

Farah berusaha melepaskan tangan Davin, tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk melepasnya. Dia jadi kesulitan bernapas.

"Sebentar lagi, kau akan mati, Wanita Tua! Setelah itu, suamimu yang akan menyusul."

Farah terkejut. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada suaminya juga.

Erza yang baru tiba, heran melihat dua penjaga yang seharusnya berjaga, justru tertidur pulas di depan pintu. Dia merasa ada yang tidak beres. Segera dia membuka pintu dan terkejut melihat keadaan di dalam ruangan istrinya yang berantakan. Terlebih lagi, dia melihat Feyzia pingsan dan ada seorang pria yang sedang mencekik leher istrinya. Dia langsung memukul kuat wajah pria itu, lalu mengempaskan tubuhnya ke lantai.

Farah yang sudah terlepas dari Davin, terbaring lemas di brankar. Berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Napasnya sesak dan lehernya terasa sangat sakit.

"Davin?" ucap Erza setelah melihat wajah pelaku dengan jelas. "Beraninya kau menunjukkan wajahmu lagi!"

Saat Erza akan memukul wajah Davin lagi, Davin lebih dulu mencengkeram kemeja Erza dan memukul wajah Erza. Erza terjatuh dan Davin berada di atas tubuhnya.

"Tidak ada yang bisa menghalangiku, termasuk dirimu, Pak Tua!" geram Davin. "Sekarang, kalian bertiga sudah berkumpul di sini. Aku lebih leluasa mengantarkan kalian ke neraka."

"Sebelum kau melakukannya, aku yang akan menguburmu hidup-hidup!"

Erza menoleh ke arah suara. "Brandon? Kau datang di saat yang tepat."

Selesai berurusan dengan polisi, Brandon dan Rio langsung menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, hati Brandon merasa gelisah. Dia mempercepat laju mobilnya. Setiba di rumah sakit, langkahnya sangat cepat menuju kamar Farah. Dia dan Rio terkejut melihat dua penjaga tertidur di depan pintu. Merasa ada sesuatu yang terjadi, mereka segera masuk. Benar saja, keadaan di dalam ruangan itu sangat mengenaskan.

Brandon menggertakkan giginya saat melihat Feyzia yang pingsan, Farah yang tak berdaya di brankar, dan Erza yang terbaring di lantai.

"Kau benar-benar sudah keterlaluan, Vin!" Kali ini, Brandon yang memukul wajah Davin dengan kuat berulang kali hingga darah bercucuran di mana-mana.

Rio membantu Erza untuk berdiri, lalu bergegas keluar untuk menelepon polisi dan memanggil dokter. Sedangkan, Erza mengangkat tubuh Feyzia ke atas sofa, lalu menghampiri istrinya. Sembari menahan air mata dan menggenggam tangan Farah, Erza berseru lirih, "Bertahanlah, Farah! Sebentar lagi, dokter akan datang."

Davin sudah tidak berdaya di bawah kungkungan Brandon. "Jangan kau kira aku akan mati dengan mudah hanya karena pukulanmu ini, Bran!"

"Kau masih tidak mau menyerah? Oke, kau akan terima akibatnya. Pukulan terakhir untuk membalas rasa sakit Feyzia dan tante Farah." Brandon tidak memukulnya. Dia hanya menggertak Davin. Dia menarik baju Davin ke atas agar pria itu berdiri tegak di hadapannya. Kemudian, menyandarkan punggung Davin ke dinding.

Davin terbatuk-batuk. Darah segar keluar dari mulutnya. Wajahnya sudah lebam karena pukulan Brandon. Walaupun begitu, dia masih bisa tersenyum. "Kau ingin membunuhku? Bunuh saja jika kau ingin masuk penjara!"

"Sayangnya, aku tidak ingin mengotori tanganku untuk membunuhmu. Biarkan polisi yang menghukummu sampai kau membusuk di dalam penjara!"

Davin tertawa sambil terbatuk-batuk. "Setidaknya, aku sudah berhasil melukai Feyzia dan ibunya."

Sesaat kemudian, polisi datang bersamaan dengan dokter dan suster.

"Anda datang tepat waktu, Pak." Brandon menyerahkan Davin ke tangan polisi. "Hukum dia seberat-beratnya, Pak! Dia hampir saja melakukan pembunuhan terhadap tunanganku dan calon mertuaku."

Setelah memborgol tangan Davin, polisi itu berkata, "Anda tenang saja. Kami akan memprosesnya sesuai aturan hukum yang berlaku. Terima kasih atas bantuannya. Kami permisi dulu."

Brandon mengangguk. "Baik, Pak."

Polisi membawa Davin keluar dari ruangan itu. Sementara, dokter memeriksa Farah dan dokter lainnya membawa Feyzia ke ruangan yang lain untuk diperiksa.

✈✈✈

Bersambung ...

I'm Yours, Captain!✔ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang