TIGA PULUH SEMBILAN

2.7K 111 53
                                        

Cuaca sore ini semakin mendung. Sesekali petir menampakkan kilatannya di langit yang hitam dengan suara yang menggelegar. Tak lama kemudian, disusul dengan angin kencang dan tetesan air hujan yang perlahan mulai membasahi tanah.

Alam semesta seolah mengerti akan suasana hati Feyzia saat ini. Duka yang dialami gadis itu begitu mendalam hingga tak terdengar suara apa pun dari mulutnya. Hanya air mata yang keluar dari sudut-sudut matanya.

Setelah prosesi pemakaman itu selesai, semua yang hadir segera membubarkan diri, kecuali Feyzia, Brandon, dan Erza. Sedangkan, Adelina dan Rio memilih pulang bersama pelayat yang lain. Mereka tahu Feyzia sedang membutuhkan waktu untuk sendiri setelah kepergian ibunya.

Hujan turun semakin deras. Meski demikian, Feyzia masih enggan beranjak untuk pulang. Dia masih berlutut di samping gundukan tanah yang penuh dengan bunga.

Beberapa hari yang lalu, Mami berjanji akan mengajakku mengunjungi makam Zeyfia bersama-sama. Namun, bukan dengan cara seperti ini, Mi. Aku belum siap berpisah dengan Mami. Ini terlalu cepat bagiku. Aku masih ingin memeluk Mami, bergurau dengan Mami, dan bercerita tentang banyak hal kepada Mami. Sekarang, Mami sudah pergi meninggalkanku dan papi untuk selamanya. Apa sekarang Mami sudah bertemu dengan Zeyfia? Di mana pun Mami berada sekarang, aku ... akan selalu merindukan Mami, gumam Feyzia lirih dalam hati.

Brandon menyamai posisinya dengan Feyzia, lalu menepuk pundak gadis itu. "Hujan semakin deras, Fey. Sebaiknya, kita segera pulang. Kau juga harus istirahat. Dari semalam, kau terus terjaga. Jika dibiarkan, kau akan sakit dan aku ... tidak ingin hal itu terjadi."

Sejak kemarin, Feyzia tidak banyak bicara. Tatapannya pun kosong seolah tak bernyawa. Bahkan, dia juga hampir tidak tidur semalaman hanya karena ingin mendampingi jenazah ibunya untuk terakhir kalinya.

Feyzia tidak membalas ucapan Brandon. Dia hanya menggeleng pelan. Tatapannya terus menatap kedua nisan yang berdekatan-Farah Dirahanto dan Zeyfia Dirahanto. Dia menganggap hari ini hanyalah mimpi. Dia sangat ingin terbangun dari mimpi yang buruk dan menyeramkan ini. Namun, percikan air hujan yang mengenai wajahnya seolah memberi tanda bahwa dia tidak sedang mimpi, melainkan berada di dunia nyata.

Feyzia masih bergeming di tempatnya. Brandon tidak berhasil membujuk Feyzia. Erza memberi isyarat kepada Brandon lewat matanya, biar Om saja yang membujuknya.

Brandon mengangguk, lalu memberi tempat untuk Erza.

Erza menghela napas dalam-dalam sebelum berkata, "Semua ini pasti sulit untuk kita terima, Fey. Papi juga. Akan tetapi, kita tidak bisa menyalahkan takdir yang sudah dibuat Tuhan. Mungkin ... ini waktunya mamimu bertemu dan berkumpul dengan Zeyfia di sana. Sekarang hanya kita yang masih tertinggal di sini. Yang harus kita lakukan adalah mendoakan mereka dan mengikhlaskan kepergian mamimu agar dia tenang dan bahagia di sana."

Feyzia hanya menangis tanpa suara. Erza merangkul pundak Feyzia. "Jika kau menangis terus di sini, mamimu tidak akan bisa pergi dengan tenang, Fey. Kau ... tidak menginginkannya, bukan? Ada baiknya, kita segera pulang. Ikhlaskan kepergian Mami!"

Feyzia teringat dengan kejadian lima hari yang lalu. Tepatnya setelah Davin mencelakainya dan ibunya. Keadaan Farah semakin parah. Dia mengalami sesak napas dan kejang-kejang hingga tak sadarkan diri selama tiga hari. Feyzia dan Erza terus berdoa agar Farah bisa sembuh seperti sediakala.

Keesokan paginya, doa ayah dan anak itu terkabul. Farah terbangun dari tidur panjangnya. Ketika diperiksa, dokter mengatakan inilah mukjizat dari Tuhan. Keadaan Farah juga mulai stabil. Feyzia dan Erza lega mendengar ucapan dokter, sekaligus bahagia.

Namun, hal yang aneh terjadi. Setelah sadar, Farah terus-menerus bicara tentang Zeyfia yang akan datang untuk mengajaknya pergi jauh. Ditambah lagi, dia mengatakan ingin dimakamkan di samping makam Zeyfia agar mereka selalu berdampingan di sana.

I'm Yours, Captain!✔ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang