TIGA PULUH LIMA

794 73 11
                                    

Setelah rapat selesai, Erza tergesa-gesa menuju rumah sakit. Sebelumnya, Feyzia memberi tahu lewat telepon bahwa dia hampir saja mengalami kecelakaan dan ibunya pingsan di pinggir jalan.

Erza sangat panik mendengar kabar dari putrinya itu. Bergegas menuju mobilnya yang terparkir di luar kantor dan mengendarainya dengan kecepatan sedang. Dia berharap Farah dan Feyzia dalam keadaan baik-baik saja.

Empat puluh menit kemudian, Erza sampai di rumah sakit. Langkahnya begitu cepat memasuki area rumah sakit menuju ruangan Farah dirawat. Ketika tiba di depan pintu, dia melihat Feyzia sedang duduk di kursi tunggu.

"Fey," panggil Erza.

Feyzia menoleh. "Papi," balasnya sambil memeluk ayahnya.

"Di mana mamimu, Fey?"

"Sedang diperiksa dokter, Pi."

"Kau tidak apa-apa, 'kan?"

Feyzia menggeleng. "Syukurlah, Pi. Aku baik-baik saja."

"Ceritakan pada Papi! Seperti apa kejadiannya? Bagaimana bisa kau hampir ditabrak mobil?" Erza meminta penjelasan kepada Feyzia.

Feyzia mulai menceritakan kronologinya. "Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, aku singgah ke toko kue langganan mami karena tiba-tiba mami ingin makan kue strawberry. Saat ingin menyeberang, jalanan cukup ramai dan aku mencoba untuk menyeberang. Tiba-tiba, ada mobil merah melaju agak kencang ke arahku. Untung saja, ada pria yang datang menolongku dengan cepat."

Erza menghela napas kasar. Hatinya dipenuhi rasa marah dan kesal pada istrinya. "Mamimu itu sungguh keterlaluan. Apa dia tidak memikirkan kesehatannya sendiri? Jika ingin makan kue itu, 'kan bisa lain waktu atau setelah sembuh nanti. Syukur kau baik-baik saja sekarang. Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu tadi? Papi tidak akan pernah memaafkan mamimu!"

"Sudahlah, Pi! Ini semua bukan kesalahan mami. Yang terpenting, aku baik-baik saja, Pi."

Erza memeluk Feyzia erat. "Kau adalah putri Papi satu-satunya, Fey. Papi sangat menyayangimu."

"Aku juga menyayangi Papi."

"Selamat siang," ucap seorang pria.

Erza melepas pelukannya. Dia dan Feyzia mendekati pria bertubuh tegap dengan balutan jas putih dan stetoskop yang menggantung di lehernya. Seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan Farah.

"Bagaimana keadaan Farah, Dok?" tanya Erza.

"Anda adalah keluarga pasien?"

"Saya suaminya dan," Erza menoleh ke sampingnya sejenak," ini anak saya."

Dokter itu mengangguk kecil. "Kondisi pasien sangat lemah, tekanan darahnya rendah, dan suhu tubuhnya panas tinggi. Saya sudah memberikan obat penurun panas dan suplemen untuk menambah darah. Anda tidak perlu khawatir. Pasien akan segera membaik dengan istirahat yang cukup. Saya harap kalian tidak menjenguknya sekarang agar pasien bisa istirahat dulu."

"Baik, Dok." Erza bersalaman dengan dokter itu. "Terima kasih banyak."

"Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi dulu." Setelah pamit, dokter itu meninggalkan Feyzia dan Erza.

"Papi lega sekarang. Kau dan mamimu tidak apa-apa."

"Syukurlah, Pi. Jika saja pria itu tidak menolongku cepat, entah apa yang akan terjadi padaku sekarang."

Brandon menoleh ke kanan dan ke kiri mencari ruangan Farah. Ketika berbelok ke kanan, dia melihat Feyzia sedang duduk bersama Erza. Dia menpercepat langkahnya mendekati mereka.

I'm Yours, Captain!✔ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang