SEPULUH

1.1K 121 52
                                    

Sesuai permintaan Feyzia, Brandon menunggu gadis itu di ujung jalan agar tidak ada seorang pun yang melihat mereka berdua. Brandon sudah tiba di sana sejak lima belas menit yang lalu. Dia duduk di atas motornya sembari memainkan ponselnya.

Feyzia berjalan dengan langkah mengendap-endap agar tidak ada yang melihatnya. Saat akan membuka pintu gerbang, Dimas memanggilnya membuat gadis itu terlonjak kaget.

"Non Fey."

Feyzia menoleh dan tersenyum lebar seraya menyembunyikan rasa gugupnya. "Ya, Pak. Ada apa?"

Dimas menghampiri Feyzia. "Kenapa Non mengendap-endap seperti itu?"

"Ah ... a—aku mau pergi kuliah, Pak."

"Sudah dijemput sama Tuan Davin, Non?"

"Dia bilang sebentar lagi akan datang, Pak. Aku akan menunggunya di luar saja."

"Non menunggu di dalam saja. Jika Tuan Davin sudah datang, saya akan memanggil Non Fey."

Feyzia membalas dengan cepat, "Tidak perlu, Pak. Aku sudah bilang padanya jika aku akan menunggunya di luar."

"Baiklah jika Non ingin seperti itu."

"Ya, sebaiknya Pak Dimas kembali ke dalam saja."

"Ya, Non. Hati-hati." Dimas berbalik masuk ke dalam, sedangkan Feyzia bergegas menutup pintu gerbang.

Dari jauh, Feyzia dapat melihat sosok pria yang sedang menunggunya di atas motor. Kedua tangannya meremas erat tali tas selempang. Jantungnya mulai berdegup kencang seiring langkahnya yang hampir mendekati pria itu.

Ada apa dengan jantungku pagi ini? Kenapa berdegup kencang seperti ini? Hufft ... baru dijemput pergi kuliah saja, aku sudah segugup ini. Bagaimana jika dijemput ke pelaminan nanti? Feyzia bergumam di dalam hati seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Astaga ... sepagi ini pikiranku sudah berkelana ke mana-mana. Kurasa, aku tidak bisa konsentrasi belajar nanti.

Brandon merasa ada seseorang yang berjalan mendekatinya. Dia pun menoleh. Ternyata, orang itu adalah Feyzia.

"Pagi, Fey," sapa Brandon sembari menyimpan ponselnya ke dalam saku celana.

"Pagi, Bran." Feyzia balik menyapa dengan tersenyum manis.

Brandon menyerahkan helm kepada Feyzia. "Cuaca hari ini sangat cerah."

Feyzia menerima helm tersebut dan memakainya. "Ya. Sepertinya, tidak akan turun hujan hari ini."

"Tentu saja karena senyummu yang sudah membuat cuaca hari ini menjadi sangat cerah."

Feyzia terpana mendengar kata-kata Brandon. Rona merah sudah mewarnai kedua pipinya diiringi senyum yang terbentuk di sudut-sudut bibirnya.

"Masih pagi seperti ini, kau sudah merayuku," balas Feyzia dengan suara yang pelan.

Walaupun kedua telinga Brandon tertutup helm, kata-kata Feyzia masih bisa didengarnya dengan jelas. "Emm ... sepertinya," kepalanya sedikit menoleh ke belakang, "kau berharap aku merayumu setiap waktu?"

Feyzia mengerjap sesaat. "Tidak!" sangkalnya.

Brandon terkekeh. "Tidak apa-apa jika kau menyukainya. Aku akan merayumu setiap waktu," menarik tangan Feyzia agar memeluk pinggangnya, "asalkan kau bisa terus tersenyum untukku."

Wajah Feyzia terasa semakin memerah akibat rayuan Brandon. Dia mencoba menarik kedua tangannya dari pinggang Brandon karena tidak pernah memeluk pinggang seorang pria yang bukan kekasihnya, terkecuali hari kemarin. Namun, gerakan tangan Brandon lebih cepat dan menahan tangannya agar tetap memeluk pinggang pria itu. "Jangan lepas tanganmu dariku!"

I'm Yours, Captain!✔ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang