Hari Minggu adalah hari yang selalu dinanti banyak orang untuk bisa istirahat seharian setelah beraktivitas selama enam hari, menikmati waktu santai dan berkumpul bersama keluarga. Sebagian juga, ada yang memanfaatkan hari Minggu untuk berlibur ke tempat-tempat wisata.
Pagi ini, Erza, Farah, dan Feyzia memanfaatkan waktu bersama dengan sarapan di meja makan. Hal yang sangat jarang bisa mereka lakukan setiap harinya.
Saat sedang makan, Farah tidak sengaja melihat cincin berlian yang melingkar di jari manis Feyzia. "Fey, siapa yang memberimu cincin berlian itu?"
Feyzia melirik sekilas cincin di jarinya. "Dari Brandon, Mi."
"Dari Brandon? Apa kau tidak salah, Fey?" Farah tidak percaya. "Mami punya koleksi perhiasan dari berlian. Jadi, Mami sangat tahu mana berlian yang asli dan tidak. Berlian yang ada di cincinmu itu asli, Fey. Harganya pun sangat mahal. Mana mungkin dia mampu membelikannya untukmu?" tanya Farah dengan nada sinis.
Feyzia menatap tidak suka kepada ibunya. "Mi, jangan suka merendahkan orang lain!"
"Mami bukan merendahkan dia, Fey. Mami bicara fakta. Apa kau tahu harga cincinmu itu? Bukan satu atau dua juta, Fey. Bisa menembus ratusan juta. Mana mungkin 'kan dia mampu membelinya? Datang ke sini saja dia naik motor."
"Apa hanya karena dia naik motor, Mami menilai ketidakmampuan Brandon? Lagipula, kaya atau tidaknya Brandon, aku tetap mencintainya, Mi. Karena ..., kami sudah resmi sebagai sepasang kekasih," ungkap Feyzia.
"Sepasang kekasih?" ulang Erza dan Farah bersamaan. Mereka sangat terkejut mendengar pengakuan putri tunggal mereka.
"Kapan? Kok Mami tidak tahu?" tanya Farah.
"Bukankah pertunanganmu itu baru saja gagal, Fey?" Erza pun ikut bertanya.
Feyzia menjawab, "Saat Adel mengajakku makan malam, Mi. Secara tidak sengaja, kami bertemu dengan Brandon. Di sanalah, dia mengungkapkan cintanya padaku dan aku langsung menerimanya."
"Apa kau sudah yakin dengan pilihanmu itu, Fey?" tanya Erza. "Ada baiknya, sebelum mengambil suatu keputusan, pikirkan dulu baik dan buruknya! Papi agak trauma karena kejadian pertunanganmu tempo hari."
Feyzia berusaha meyakinkan ayahnya. "Aku yakin, Pi. Bahkan, dia akan mengenalkanku kepada orangtuanya."
"Apa kau tahu latar belakang keluarganya, siapa keluarganya, berapa jumlah saudaranya, di mana dia dan orangtuanya tinggal, apa pendidikan terakhirnya, dan bagaimana kepribadian dia di lingkungan sekitarnya?" Farah memberikan rentetan pertanyaan kepada Feyzia.
Feyzia menggeleng. "Aku hanya tahu pekerjaan dia, Mi."
Farah terkejut. "Kau sama sekali tidak tahu tentang keluarganya?"
"Kami baru saja kenal, Mi."
Farah menepuk dahinya. "Astaga, Fey. Bagaimana bisa kau langsung mencintainya? Seharusnya, kau gali informasi sebanyak-banyaknya tentang dia dan keluarganya sebelum memutuskan untuk menjalin kasih dengannya. Jika kau tidak tahu seluk-beluk keluarganya, itu sama saja seperti membeli kucing dalam karung. Memilih sesuatu tanpa tahu apa sesungguhnya yang sudah kau pilih."
Mendengar ocehan Farah yang panjang kali lebar membuat Feyzia kehilangan selera makan. "Aku pamit ke kamar dulu, Mi, Pi," ucapnya seraya beranjak dari posisinya.
"Sarapanmu belum habis, Fey," ujar Erza.
"Aku sudah kenyang, Pi." Feyzia berlalu meninggalkan meja makan dan berjalan menuju kamarnya.
"Lihatlah kelakuan anakmu itu, Za! Diberi tahu malah pamit ke kamarnya," sindir Farah.
Erza menghela napas pelan. "Dia anak kita, Far."
"Ya, maksudku seperti itu, tetapi Fey jadi sulit diberi tahu 'kan menurun darimu, Za." Farah tidak mau kalah.
"Terserah apa katamu, Far." Erza sudah tahu kebiasaan istrinya. Bagian buruk dari anaknya, pasti disebut menurun darinya. Sedangkan, sifat baiknya pasti disebut menurun dari istrinya.
Erza dan Farah melanjutkan sarapannya yang sempat terhenti sejenak.
"Menurutku, kau terlalu keras kepada Feyzia, Far. Hatinya yang lembut sangat mudah terluka oleh kata-kata kasarmu itu," ucap Erza.
"Lebih tepatnya, aku bersikap tegas kepada Fey. Dia sudah dewasa. Sebelum menikah dan memiliki keluarga, dia masih tanggung jawab kita, Za. Sudah sewajarnya 'kan, kita yang membimbing dia agar tidak salah memilih jalan untuk hidupnya?"
"Ya, ya, aku mengerti," jawab Erza.
Setiap sedang beradu mulut seperti ini, Farah selalu merasa benar dan Erza yang pada akhirnya harus mengalah. Sikap inilah yang selalu diterapkan oleh Erza untuk mempertahankan rumah tangganya yang sudah lama dibinanya bersama Farah. Sikap istrinya yang keras kepala membuat dirinya harus banyak bersabar dan mengalah dalam hal apa pun agar hubungan mereka tetap rukun dan langgeng. Jika keduanya sama-sama keras kepala dan tetap berkukuh dengan pendapat sendiri, bisa jadi rumah tangga mereka itu tak 'kan bisa bertahan hingga sekarang.
Usai sarapan, Erza menonton berita tentang bisnis dan pasar saham di televisi. Dia selalu memantau perkembangannya setiap hari.
Sedangkan, Farah memilih membaca majalah fashion favoritnya. Majalah itu membahas lengkap seputar fashion, beauty, lifestyle dan informasi kewanitaan lainnya. Ibu satu anak itu selalu memperhatikan penampilan dan kecantikan setiap harinya agar selalu tampak fresh, fashionable, dan awet muda di usianya yang hampir berkepala lima.
"Far, bagaimana jika nanti kita mengundang Brandon untuk makan malam di rumah kita?" tanya Erza kepada Farah yang duduk di sampingnya.
Tatapan Farah beralih menatap tidak suka kepada Erza. "Untuk apa kita mengundang dia? Apa kau merestui hubungan Fey dengan Brandon?"
"Aku belum seratus persen merestui hubungan mereka. Tujuanku mengundang dia ke sini agar kita bisa lebih mengenal dia dan menanyakan segala hal tentang keluarganya. Aku tidak ingin Fey jatuh cinta pada pria yang salah," tutur Erza.
Farah mendengkus dan melanjutkan membaca majalahnya. "Terserah kau saja."
Erza menghela napas pelan. "Baiklah, aku akan memberi tahu Fey tentang hal ini."
✈✈✈
Bersambung ... (23-04-2020)
Kira-kira, gimana ya acara makan malam mereka nanti?
Nantikan part selanjutnya yaa 😉😉
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours, Captain!✔ (END)
RomansFeyzia Dirahanto-seorang gadis yang sangat ingin menikmati masa mudanya seperti gadis lainnya. Bebas pergi ke mana pun, dengan siapa saja, dan bahkan naik motor. Namun, dia tidak pernah merasakan semua itu. Dia merasa terkekang oleh larangan-laranga...