DUA PULUH ENAM

831 83 12
                                        

Dani membuang semua benda yang ada di atas meja kerjanya dengan ekspresi yang sangat marah dan kesal. "Aarrgghh ...!" Napasnya terengah-engah seiring emosi yang meluap.

"Apa yang harus kukatakan pada Vira dan Davin? Keinginanku yang ingin bertambah kaya, justru berbalik menjadi miskin."

Mendengar suara ribut di dalam ruang kerja Dani, Vira dan Davin bergegas menghampiri Dani yang tertunduk sedih di kursinya.

Vira menatap sekitar meja Dani. Beberapa map dan kertas berhamburan di lantai. Vas bunga yang terbuat dari kaca hancur tak berbentuk. Bingkai foto keluarganya juga turut menjadi pelampiasan amarah Dani. Dia lalu beralih menatap Dani dengan tatapan cemas.

"Apa yang sudah terjadi, Dan?" Vira yakin ada sesuatu yang sudah membuat Dani menjadi emosi.

Dani meremas rambutnya dan memejamkan matanya sesaat. "Perusahaanku ... sudah ... bangkrut, Vir."

"Apa?!" pekik Vira dan Davin bersamaan.

"Papa becanda, 'kan?" tanya Davin. Dia berharap ucapan ayahnya itu hanyalah sebuah gurauan saja.

Dani menegakkan kepalanya, menatap Davin. "Apa raut wajah Papa ini terlihat sedang becanda, Vin? Papa serius. Orang yang mau membantu perusahaan Papa, tiba-tiba membatalkan semuanya tadi pagi. Sekarang, tidak ada harapan lagi untuk kita. Semuanya sudah hancur. Kita akan kembali hidup melarat seperti dulu."

Vira menghela napas panjang. "Kehancuranmu ini berawal dari ketamakanmu terhadap harta, Dan. Sampai-sampai, kau melupakan jasa dan kebaikan temanmu sendiri. Pada akhirnya, kau sendiri 'kan yang menyesal. Andai kau mendengar kata-kataku dulu, mungkin nasib kita masih baik-baik saja. Tidak menyedihkan seperti saat ini."

Dani memukul mejanya dengan kuat. "Berhenti menceramahiku, Vir! Keadaan kita sedang genting. Yang kubutuhkan saat ini adalah dukunganmu, bukan ocehanmu yang tidak jelas itu!" hardiknya.

Vira tidak terkejut lagi mendengar suara tinggi Dani. Dia sudah terbiasa dengan sikap suaminya yang emosional dan mudah terpengaruh oleh keadaan.

"Lalu, apa yang akan Papa lakukan? Apa kita akan terus berdiam diri seperti ini?" tanya Davin.

"Pikiran Papa sedang kacau saat ini, Vin. Papa belum tahu langkah kita selanjutnya."

Davin yang berwatak keras dan egois, enggan mengerti kondisi ayahnya. "Aku tidak mau tahu, Pa! Papa harus segera mencari cara agar kita bisa kaya lagi. Aku tidak mau hidup miskin seperti dulu!"

"Davin! Jangan bicara seperti itu kepada papamu! Bagaimanapun juga, papa sudah berusaha untuk keluarga kita. Jangan menekan papamu terus-menerus!" tegas Vira.

Bukannya membaik, situasi di dalam ruangan itu semakin memanas karena ucapan Davin yang asal bicara saja tanpa memikirkan suasana hati Dani.

Dani beranjak dari tempat duduknya. "Seharusnya, kau bantu Papa memikirkannya, Vin. Bukan melimpahkan semuanya kepada Papa. Papa juga tidak mau hidup miskin seperti dulu, tetapi mau bagaimana lagi? Semua cara sudah Papa tempuh. Alhasil, kita harus kembali lagi ke kehidupan yang dulu."

"Kalau Papa tidak bisa memperbaiki kehidupan kita, aku akan pergi dari rumah ini! Bahkan, kalau perlu, aku akan keluar dari keluarga ini dan tidak akan menjadi anak Papa lagi!" Sebelum dicecar oleh makian ayahnya, Davin segera keluar dari ruangan itu.

"Davin!" panggil Dani dengan tegas.

Davin terus berjalan tanpa memedulikan panggilan dari ayahnya. Dia begitu egois hingga tidak bisa berpikir rasional.

Dani membuang napas kasar melihat sikap Davin yang egois. Dia kembali duduk dengan bersandar di punggung kursi. Matanya terpejam sekadar menetralkan emosinya.

I'm Yours, Captain!✔ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang