TIGA PULUH EMPAT

847 89 15
                                        

Feyzia sudah selesai bersiap. Tak lama lagi, Brandon akan menjemputnya. Tunangannya ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk melihat tanah yang disebut sebagai rumah masa depan mereka.

Feyzia menuruni tangga yang menghubungkan antara kamarnya berada di lantai dua dengan lantai dasar. Saat kakinya menapak lantai, pandangannya menatap sekitar. Keadaan rumahnya sepi.

Melihat Sumi berjalan menuju dapur, Feyzia memanggilnya. Sumi berhenti dan menoleh. "Ada apa, Non Fey?" tanyanya.

"Papi sudah pergi ke kantor, Bik?"

"Sudah, Non. Tadi pagi, tuan mendapat kabar bahwa hari ini ada rapat penting," jawab Sumi.

"Mami juga ikut?"

Sumi menggeleng. "Tidak, Non. Nyonya ada di kamarnya. Saat tuan sarapan, nyonya tidak menemani dan berada di kamarnya terus. Sepertinya, nyonya sedang sakit, Non. Saat saya mengantar sarapan ke kamar, nyonya sedang tidur. Tidak seperti biasanya nyonya masih tidur jam segini."

Feyzia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Benar kata bik Sumi. Tidak biasanya, mami masih tidur. Apa benar mami sedang sakit?

"Baiklah, Bik. Aku akan melihat mami ke kamarnya."

"Ya, Non. Sarapan nyonya, saya letakkan di atas rak samping ranjang, Non."

"Terima kasih, Bik. Kalau mami sudah bangun, aku akan membujuknya untuk sarapan." Feyzia berjalan menuju kamar orangtuanya.

Saat sampai di depan pintu kamar orangtuanya, Feyzia mengetuk lebih dulu. Walaupun kamar orangtuanya, dia tetap menjaga kesopanan dengan mengetuk pintu sebelum masuk.

Berulang kali Feyzia memanggil ibunya, tetapi tidak terdengar suara apa pun dari dalam. Feyzia mendadak khawatir dengan keadaan ibunya. Dia memaksakan diri untuk masuk.

Feyzia melangkah pelan menuju ranjang. Melihat ibunya masih meringkuk di dalam selimut. Perlahan, dia duduk di pinggir ranjang. Berniat ingin membangunkan ibunya. Saat telapak tangannya menyentuh lengan ibunya, rasanya sangat panas sekali.

Feyzia terkejut. Tangannya langsung meraba dahi dan leher ibunya. "Astaga, panas sekali."

Feyzia menggoyangkan lengan ibunya. "Mi ... bangun, Mi. Badan Mami sangat panas. Ayo, kita pergi ke dokter, Mi! Mami ... ayo, bangun! Sekarang sudah jam sembilan pagi, Mi."

Farah sedikit membuka matanya. Menoleh ke arah Feyzia. "Kenapa, Fey?" tanyanya dengan suara serak dan pelan.

"Ayo, kita pergi ke dokter, Mi! Badan Mami sangat panas. Wajah Mami juga pucat," jawab Feyzia. Ekspresi panik terlihat jelas di wajahnya. Dia sangat mencemaskan keadaan ibunya.

Farah menggeleng pelan. "Tidak, Fey. Mami tidak apa-apa. Kau tidak perlu cemas seperti itu. Kau juga akan pergi dengan Brandon, 'kan? Mami bisa istirahat di kamar. Sebentar lagi juga akan membaik."

Feyzia menghela napas kasar. "Apa yang tidak apa-apa, Mi? Badan Mami itu sangat panas. Yang terpenting sekarang adalah keadaan Mami. Soal janji dengan Brandon, aku bisa membatalkannya. Lagipula, aku masih bisa pergi kapan pun dengannya. Aku akan menelepon papi dulu. Setelah itu, kita pergi ke dokter."

Farah menahan lengan Feyzia yang akan mengambil ponsel dari tas selempang. "Jangan telepon papimu! Dia pasti sedang rapat sekarang. Dia juga akan panik nantinya. Lebih baik tidak perlu ditelepon. Kasihan papimu."

"Papi harus tahu keadaan Mami. Pokoknya, aku tetap akan memberi tahu papi. Mami tidak bisa melarangku atau pun membantahku!" Kali ini, Feyzia yang mengatur Farah. Dia tidak menelepon Erza karena ayahnya sedang rapat. Dia mengirim pesan melalui whatsapp.

I'm Yours, Captain!✔ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang