Selamat membaca guys!!
***
Pekerjaan seolah sudah menjadi teman setia Dania selama empat tahun belakangan ini. Tak ada kata lelah, apa lagi bosan, karena hanya pekerjaan lah yang membantunya mengalihkan segala macam pikiran, membuatnya sibuk dan lupa akan kesedihannya mengenai pernikahan yang gagal di gelar akibat si mempelai pria pergi meninggalkan dunia tanpa pesan maupun kata perpisahan.
"Bu, Pak Levin mengajak ibu untuk makan siang bersama," Rindu, yang tak lain adalah sekretaris Dania menyampaikan pesan dari bos besarnya.
Menghela napasnya berat, Dania kemudian melayangkan tatapan tajamnya pada si sekretaris, yang dengan cepat ciut dan menunduk. "Baik Bu, akan saya sampaikan bahwa ibu sibuk," ucap perempuan bernama Rindu itu, melangkah cepat keluar dari ruangan atasannya untuk menyampaikan penolakan pada bos besar.
Begitu sekretarisnya sudah kembali menutup pintu ruangannya, Dania menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya, kemudian memijat pelipisnya yang berdenyut pusing.
Jam memang sudah menunjukkan waktu istirahat, dan ajakan sang papa untuk makan siang bersama bukanlah untuk pertama kalinya, begitu pun dengan penolakan yang di berikan Dania. Ia bukan tak ingin makan bersama papa-nya, hanya saja Dania selalu tidak berselera untuk makan siang, bahkan tak jarang makan malam dan sarapan pun dilewatkannya.
Kembali berkutat dengan pekerjaannya sebagai manajer keuangan di perusahaan milik kakek yang di wariskan pada papanya. Dania memilih fokus pada berkas-berkas di depannya juga layar komputer yang menyala menampilkan kolom-kolom berisi deretan angka, sampai kemudian pintu ruangannya di paksa terbuka dari luar.
"Kenapa setiap Papa ajak makan siang kamu selalu menolak?" tanya Levin dengan suara yang terdengar marah.
"Dania gak lapar, Pa. Maaf." Jawabnya ringan.
Menutup pintu yang sedikit di banting, Levin kemudian melangkah mendekati anak pertamanya itu . "Kakak, please! Ini sudah empat tahun, kenapa kamu masih saja seperti ini?" keluh Levin dengan lirih, terdengar frustrasi. "Mike sudah tenang di sana--"
"Papa, stop, jangan pernah sebut nama dia lagi!" suara Dania terdengar memohon.
Levin merengkuh tubuh anak gadisnya yang berguncang, lalu memberikan beberapa kecupan di puncak kepala Dania. "Maaf sayang, papa terlalu khawatir sama kamu. Papa tidak ingin kamu terus-terusan seperti ini, sibuk dengan pekerjaan tanpa memedulikan kesehatan kamu sendiri. Papa rindu anak papa yang ceria. Kembali lah, Nak, papa mohon! Kembali menjadi putri papa yang dulu."
Suara isakan terdengar begitu pilu, membuat Levin yakin bahwa putrinya itu masih belum melupakan calon pengantinnya empat tahun lalu yang meninggal akibat terjatuhnya pesawat yang mengantarkan pria itu bersama keluarganya menuju Indonesia.
"Semuanya sudah berlalu, Kak. Sudah saatnya membuka lembaran baru. Kamu harus terima bahwa Mike memang bukan yang Tuhan takdirkan untuk kamu," bisik Leo seraya menyeka kedua pipi basah Dania.
"Nia gak bisa, Pa. Terlalu sulit untuk melupakan Mike yang begitu berarti di hidup Nia." Dania menggelengkan kepala, masih dengan air mata yang mengalir dari mata cantiknya.
"Itu karena kamu tidak ingin mencoba untuk berusaha. Percayalah Kak, semua akan menjadi lebih mudah di saat kamu ikhlas menjalaninya."
⭐⭐⭐
Pukul lima sore Dania sudah siap untuk pulang, membuat Rindu yang tiga tahun ini menjadi sekretarisnya menganga tak percaya, sekaligus menjadi kabar bahagia karena itu artinya dirinya pun dapat pulang tepat waktu.
Berdiri dari duduknya, Rindu menundukkan kepala begitu sang bos membuka pintu ruangannya.
"Saya pulang duluan, Rin." Hanya itu yang Dania ucapkan, kemudian melangkah menuju lift dan masuk begitu pintu besi itu terbuka.
Di lobi, Dania bertemu dengan sang papa yang sepertinya juga hendak pulang. "Sore Pa," sapa Dania dengan nada biasa dan senyum tipis yang terlihat sama sekali tidak menunjukkan bahwa wanita itu bahagia.
Levin yang tahu bahwa anaknya sudah mulai mencoba membuka diri, membalas sapaan anak pertamanya itu dan menawarkannya untuk pulang bersama.
"Dania bawa mobil, Pa. Duluan aja,"
"Mobil kamu biar di simpan disini aja. Kamu ikut naik mobil Papa, nanti kita mampir ke warung sate kesukaan kamu, gimana?"
Dania pada akhirnya mengangguk, meskipun tidak sama sekali memperlihatkan binar bahagia. Levin memaklumi itu, karena jelas tidak mudah berusaha kembali baik-baik saja di saat kesedihan begitu amat membekas dalam hati.
Dalam sepanjang perjalanan, Dania hanya menatap jalanan yang di lalui dari jendela samping, sementara Levin yang sesekali menoleh pada anaknya itu bingung mencari topik obrolannya. Dulu mungkin Levin bisa bicara sekenanya pada anak gadisnya itu, bahkan becanda dan beradu pendapat hal-hal yang tidak berguna.
Namun setelah empat tahun belakangan ini Levin tidak bisa lagi seperti dulu dengan putri pertamanya, karena ketertutupan dan pendiamnya Dania membuat Levin segan menggoda anaknya. Bukan segan juga sih sebenarnya, lebih tepatnya Levin takut di abaikan, dan membuat banyolannya menjadi garing. Levin tidak ingin malu sendiri, apa lagi yang mempermalukannya adalah anaknya sendiri.
"Papi, warung satenya ke lewat!" ujar Dania sedikit berteriak, membuat Levin terkejut dan berakhir menginjak rem mendadak. Beruntung Dania terlindung sabuk pengaman jadi, tidak membuat keningnya terbentur dasbor mobil.
"Papa kalau nyetir jangan sambil melamun, dong. Bahaya tahu gak! Untung kita ada di jalanan sepi," omel Dania yang dadanya kini berdebar kencang seolah ingin meloncat dari tempatnya karena saking terkejutnya.
"Maaf, kak, Papa gak sengaja." Sesal Levin yang saat ini juga tengah menstabilkan diri dari keterkejutannya.
"Papa baik-baik aja kan?" tanya Dania yang khawatir juga pada papanya yang tidak biasanya menyetir sambil melamun.
"Papa baik-baik aja sayang, beneran deh!" kata Levin meyakinkan anaknya, begitu melihat tatapan curiga yang Dania layangkan.
"Papa gak bohong? Gak lagi ada masalah yang serius kan?" lagi Dania bertanya, karena masih belum yakin dengan jawaban yang papanya berikan.
Anggukan meyakinkan Levin berikan, kemudian menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. "Papa cuma mikirin gimana caranya ngajak kamu ngobrol," aku Levin pada akhirnya, membuat Dania melongo dengan mulut terbuka. "Udah lama gak semobil apa lagi becanda sama kamu, Papa jadi bingung cari bahan obrolan."
Tawa Dania kemudian berderai begitu mencerna apa yang di katakan sang papa, bahkan air matanya sampai ikut menetes saking geli juga puasnya Dania tertawa. "Astaga kenapa bokap gue sekonyol ini!" Dania menggelengkan kepala tak habis pikir, seraya menyeka sudut matanya. "Antara polos sama bego emang gak bisa di bedain."
Levin tersenyum lebar mendengar tawa pertama anak gadisnya yang begitu lepas. Meskipun kekesalan itu ada akibat di katai bego oleh anaknya sendiri, tapi untuk kali ini Levin tidak akan marah karena tawa anaknya lebih berarti saat ini.
"Terus tertawa, Nak, hilangkan kesedihanmu dan kembalilah ceria seperti dulu lagi."
****
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome My Happiness
Ficción GeneralKesedihan seolah sudah menjadi teman setia Dania sejak calon suaminya pergi tanpa pesan, bukan pergi karena sebuah penghianatan, melainkan kecelakaan yang tidak pernah terbayangkan akan merenggut nyawa orang tersayang. Kejadian itu merenggut kebahag...