Happy reading!!
"Beneran nggak pa-pa, kan?" tanya Felix seraya mengusap puncak kepala Milly.
"Iya, Pa. Papa sama Mama hati-hati, cepet selesaikan masalahnya terus cepet pulang."
Diandra memeluk putrinya itu dengan sayang. "Iya. Lagi pula nanti siang Tante Hannah ke sini buat temenin kamu."
"Milly bisa di rumah sendiri, kok. Masih ada Pak Adi juga."
"Dari pada kamu sendiri, kan?" tanya Diandra dan hanya mendapat sebuah anggukan dari Milly.
Milly menatap sang mama. "Terserahlah. Emang berapa hari, Ma?"
Diandra melirik Felix hendak meminta jawaban. "Em ... cuma sekitar tiga sampai empat hari aja."
"Tuh, nggak sampe seminggu." Wanita itu menjeda ucapannya. "Kalau ada apa-apa langsung kabari aja. Terus kalau mau ajak pacarmu ke sini juga boleh, yang penting jangan macem-macem atau mama bantai dia nanti."
Milly tersipu mendengar ungkapan Diandra barusan. "Ih, Mama apaan, sih!"
"Cie ... yang malu-malu," goda Felix dengan kerlingan sebelah matanya.
"Papa juga! Ngeselin, ah!"
"Udah-udah ... kami berangkat dulu. Keburu ketinggalan pesawat," ucap Felix kembali mencium puncak kepala putrinya. Tidak ketinggalan Diandra juga memeluk Milly erat sebelum pergi.
Siang hari yang cukup terik, suara ketukan dari pintu utama membuat Milly segera bergegas membukanya.
"Tante Hannah," lirihnya.
"Lo masih betah aja di sini?" tanya Hannah yang dengan wajah sombongnya itu seraya memasuki kediaman Anderson.
Milly yang hendak mencium tangan wanita itu hanya dilewatinya tanpa melirik sedikitpun.
"Gimana kabarnya, Tan? Lama nggak ketemu," ucap Milly seraya menampilkan senyum paksanya.
"Nggak usah sok akrab. Muak gue liat muka anak pungut kek lo," cecar Hannah tanpa perasaan.
Milly hanya mengikuti dari belakang ke mana arah kaki jenjang dengan high heels merah itu melenggang. Tiba-tiba saja Hannah berbalik dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Gue denger, Bi Karmi masuk penjara, ya?" tanyanya dengan nada datar.
Milly menatap manik cokelat itu sendu. "Iya, Tan."
"Kenapa? Dia mau bunuh lo?" Tawa Hannah membuat ucapannya yang belum selesai itu terjeda. "Harusnya, lo tahu diri. Pembantu aja sampe mau ngehabisin lo, bunuh diri aja sekalian. Dasar! Anak pungut, anak pembawa sial!"
Gadis dengan manik hitam tajam itu hanya tersenyum manis dan berkata, "Terserahlah Tante mau bilang apa. Kita nggak ada hubungan. Toh, yang pungut aku itu mama sama papa, bukan tante."
"Berani ngelawan, ya, lo sekarang!" geram Hannah. Wanita itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi hendak melayangkan tamparan kerasnya pada Milly, tapi gadis itu lebih dulu menangkisnya sebelum tepalak tangan Hannah sampai di pipinya.
"Tante jangan samain Milly sama yang dulu. Ke sini aja karena diminta sama papa, jadi jangan macem-macem!" Setelah mengatakannya, Milly langsung menghempaskan tangan Hannah dan pergi menjauh.
∆ Milly Oswald ∆
Gadis berusia 13 tahun itu terus saja memeluk sang mama seraya menangis tersedu-sedu. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak mau di rumah sendiri.
"Ssstt, jangan nangis, sayang. Nanti Tante Hannah yang bakal temenin kamu," ucap Diandra seraya mengeluarkan lolipop dari dalam tasnya. "Ini permen kesukaan kamu. Jangan nakal, ya, nurut sama Tante Hannah. Mama sama Papa pergi dulu, Bye."
Wanita dengan wajah datar itu datang tidak lama setelah kepergian papa dan mama Milly. Setiap ada perjalanan bisnis yang memerlukan waktu beberapa hari, pasti Hannah-lah yang dipercaya orang tua Milly untuk menemaninya, kecuali saat sudah ada Bi Karmi di sana.
Milly yang baru beberapa hari tinggal di rumah itu hanya tersenyum senang mengetahui sang tante yang begitu cantik dan anggun.
"Hai, Tante. Aku Milly."
"Hai, anak pungut."
Raut sendu langsung terpancar nyata dari ekspresinya. Milly menatap Hannah tidak percaya. "Kukira Tante Hannah itu baik dan ramah," lirihnya.
Wanita dengan rambut digelung asal itu masih bisa mendengar penuturan Milly. "Apa lo bilang?"
Milly menggeleng. "Nggak, Milly nggak bilang apa-apa."
Hannah yang muak dengan wajah Milly langsung menyeret rambut gadis itu hingga ke dapur. Dia menekan kepala Milly ke tempat pencuci piring dan menyalakan keran di sana hingga kepalanya basah. Tidak sampai di situ saja, Hannah juga tega mengunci Milly di toilet karena melihat gadis itu saja sudah membuatnya kesal.
"Tante buka pintunya!" teriak gadis itu.
"Rasain! Mati lo kedinginan di dalam!" timpal Hannah tanpa perasaan.
"Tante!"
"Tante Hannah, buka pintunya!"
Hannah geram. "Diam! Berisik amat, sih!"
Tangis Milly bisa terdengar jelas dari dalam kamar mandi. Rintihannya menyuarakan dinginnya hawa yang menusuk kulit membuat orang-orang yang mendengarnya merasa kasihan, tapi tidak bagi Hannah.
Kini, gadis itu sudah dewasa. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Apalagi hanya untuk menentang ucapan Hannah, memotong-motong tubuh wanita itu dan menjadikannya dekorasi rumah pun Milly bisa.
Suasana kediaman Anderson begitu dingin. Keduanya tidak saling tegur sapa, hanya saling berbalas tatapan tajam. Milly yang sudah bersiap dengan rapi hanya melewati Hannah yang tengah menonton TV di ruang keluarga.
"Dasar nggak sopan!" geramnya. Hannah berteriak, "Mau ke mana?"
Milly menghentikan langkahnya dan berbalik menatap wanita itu. "Keluar."
"Iya, ke mana? Beliin martabak sekalian buat gue," pintanya.
"Bukan urusan Tante. Kalau laper, beli aja sendiri, nggak usah ganggu Milly." Gadis itu segera melenggang pergi tanpa mengindahkan makian-makian Hannah yang terlontar untuknya.
"Dasar! Anak nggak tahu diuntung! Kak Felix waktu adopsi kenapa bisa milih anak nggak punya adab gitu, sih."
∆ Milly Oswald ∆
Yuhuuuuu
Part ini parah pendek banget 😅
Cuma sekitar 800an kataMaapkan daku atas kegajeannya
Stay tune 😚
See you next part 👉
Salam sayank
Nadya_Nurma 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost Control (Rebel Girl)
Mystery / Thriller[COMPLETE] Manik mata hitam dan sorot mata tajam yang begitu memesona. Tatapannya yang lekat dan dalam bisa membuat siapapun yang memperhatikannya merinding ketakutan, jangan lupakan juga sebuah gunting yang selalu terselip di saku rok seragamnya. G...