Happy reading!!
Milly menghela napas panjang sebelum dirinya memasuki rumah. Dirinya cukup penat hari ini, apalagi nanti ia harus berurusan dengan keluarga tantenya itu. Tangan gadis itu meraih gagang pintu dan membukanya perlahan.
“Milly pulang.”
Mata Milly menatap heran Adam yang duduk di sofa ruang tamu, sepertinya dia tengah menunggu seseorang. Gadis itu berjalan mendekat, saat hendak mengulurkan tangan pada sang om, Adam malah menepisnya dan langsung berdiri.
Plak!
Tamparan telak mendapat di pipi Milly. Refleks saja gadis itu memegangi pipinya yang terasa panas dan melayangkan tatapan bingungnya pada Adam.
“Apa-apaan, sih, Om?”
Plak!
“Om!” geram Milly saat pipi satunya juga tidak luput dari pukulan Adam.
Hannah datang seraya menyilangkan tangannya di depan dada. “Rasain! Emang pantes anak nggak tahu diuntung kayak lo ini disiksa.”
“Kalian berdua kenapa, sih? Apa salah Milly?”
“Masih tanya salah kamu di mana,” tegas Adam, “tidak tahu diri.”
“Yang lo lakuin ke Luke kemarin itu udah kelewatan, Mil. Kurang baik apa keluarga Anderson sama lo?” Hannah memberi jeda ucapannya. “Ternyata keputusan Kak Felix buat mungut lo itu kesalahan besar, anak liar tetep aja liar.”
Milly tersenyum sekilas. “Jadi itu masalahnya. Anak kalian yang manja itu udah ngadu.”
Adam hendak kembali memukul Milly, tapi dengan sekuat tenaga gadis itu menahannya hingga lelaki itu kembali menarik tangannya. “Nggak usah pake emosi, dong, Om.”
“Dasar anak pungut nggak tahu diuntung!” tukas Hannah. “Sekalian aja balik ke tempat asal lo, panti asuhan kumuh itu. Lo juga udah nggak punya hak tinggal di sini sepeninggalnya kakak gue.”
Milly berdecih, “Cih! Tante nggak usah ikutan marah-marah, apalagi sampe bawa-bawa nama papa. Milly juga udah nggak betah di sini sama kalian.” Gadis itu melenggang pergi meninggalkan Hannah dan Adam yang saling menatap.
Gadis itu membuka pintu kamarnya dengan kasar. “Sialan emang si Luke!”
Milly menurunkan sebuah koper besar dari atas lemari dengan susah payah. Dengan terburu-buru, dia memasukkan beberapa potong pakaian dan seragam sekolahnya, tidak lupa juga sebuah pigura yang menampilkan dirinya, Felix, dan Diandra saat berlibur ke luar kota tahun lalu. Beberapa saat Milly mendekap foto itu hingga air mata meluncur dari maniknya dan langsung diusapnya. Gadis itu menutup koper itu dengan kasar dan menyeretnya ke luar.
“Ini yang kalian mau, kan?” tanya Milly seraya menampilkan senyum termanisnya.
Hannah tersenyum miring. Dia membuka dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan langsung membuangnya ke hadapan gadis itu.
Milly tidak merespon, dia diam lalu melayangkan tatapan datar pada kedua orang itu. “Tante nggak usah repot-repot, Milly ada uang bahkan buat biaya sampe lulus nanti masih ada, kok. Kan, Tante yang lebih butuh uangnya.”
“Anak sialan,” desis Hannah tidak terima.
“Emm ... buat Om Adam. Jangan lupa sampein salam Milly buat anak manja itu, ya,” ucap gadis itu langsung berbalik dan menyeret kopernya keluar.
Saat di halaman, Milly bertemu dengan Pak Adi yang melayangkan tatapan bingung padanya.
“Loh, Non Milly mau ke mana? Kok sampe bawa-bawa koper, mau kemah, ya?” tanya Pak Adi penuh rasa ingin tahu.
Milly menggeleng singkat. “Nggak, Pak. Milly mau pergi.”
“Iya, pergi ke mana, Non? Biar Pak Adi anter.”
“Bukan itu, Pak. Milly mau pergi dan nggak akan balik lagi ke sini.”
Mata Pak Adi membelalak. “Loh? Kenapa?”
“Nggak pa-pa, Pak. Sekarang Tante Hannah sekeluarga yang tinggal di sini. Milly juga udah nggak punya hak di sini.” Milly berhenti sejenak untuk menarik napas. “Pak Adi jaga diri, ya.”
Pak Adi mengangguk dan menatap sendu pada Milly. “Terus Non Milly sekarang mau ke mana?”
Lagi-lagi Milly menggeleng. “Belum tahu, Pak. Palingan mau cari kontarakan di deket sekolah.”
“Pak Adi anterin, ya? Saya tahu kos-kosan murah di sana.”
“Boleh, Pak.”
Pak Adi mengantar Milly. Mereka tiba di depan sebuah bangunan yang bertuliskan ‘Kos-Kosan’.
“Beneran, nih, Non Milly mau tinggal di sini?” tanya Pak Adi.
Gadis itu memperhatikan lingkungan sekitarnya. “Iya, Pak. Milly udah pernah tinggal di tempat yang lebih buruk dari ini, kok.”
“Ya udah, Non Milly jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa bisa telpon saya.” Pak Adi mengeluarkan dompetnya, saat lelaki itu hendak menyerahkan sejumlah uang pada Milly, gadis itu menolaknya dengan halus.
“Nggak usah, Pak. Milly masih ada, kok.”
∆ Milly Oswald ∆
“Akhirnya bebas juga dari nenek lampir,” ungkap Milly seraya merebahkan diri di kasur lantai. Gadis itu menggoyang-goyangkan kakinya sambil sesekali mengangkatnya ke udara.
Milly mendudukkan diri. Menyeret kopernya yang berada di samping kasur. Membuka saku samping dan mengambil sebuah buku tabungan. “Cukuplah buat biaya hidup sampe lulus nanti. Seenggaknya kalo gue cari kerja sampingan bisa nambah-nambah pemasukan dari pada andelin ini terus.”
Tok ... tok ... tok ....
“Iya,” jawab Milly setengah berteriak. Gadis itu segera beranjak dan membuka pintu. “Iya, ada yang bisa saya bantu, Kak?”
Gadis yang sepertinya berusia dua tahun lebih tua dari Milly itu tersenyum manis seraya mengajukan semangkuk sup. “Ini buat lo, itung-itung sambutan anak baru.”
Wajah Milly berbinar menerima pemberian gadis itu. “Wah, makasih, Kak ....”
“Nasya, panggil aja Nasya,” sambung gadis itu cepat.
“Iya, Kak Nasya.”
“Santai aja. Kalo nama lo?”
“Milly.”
“Okey, Milly. Kayaknya kita bakal jadi tetangga yang akrab.” Nasya mengintip ke kamar Milly sekilas. “Lo ngekos sendiri?”
“Iya, Kak.”
“Ya udah, gue pamit dulu. Mau kuliah.” Nasya langsung melenggang pergi seraya melambaikan tangannya pada Milly. “Jangan lupa dimakan supnya!”
“Iya,” jawab Milly singkat.
Gadis itu kembali ke dalam dan menutup pintunya rapat-rapat. “Enak, nih, kayaknya.” Tanpa pikir panjang Milly langsung melahap sup pemberian dari Nasya.
“Wah, beneran enak banget.” Milly tersenyum puas. “Betah, deh, gue di sini. Ternyata orang asing itu nggak buruk juga.”
∆ Milly Oswald ∆
See you next part 👉
Salam sayank
Nadya_Nurma 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost Control (Rebel Girl)
Mystery / Thriller[COMPLETE] Manik mata hitam dan sorot mata tajam yang begitu memesona. Tatapannya yang lekat dan dalam bisa membuat siapapun yang memperhatikannya merinding ketakutan, jangan lupakan juga sebuah gunting yang selalu terselip di saku rok seragamnya. G...