LCRG 24 : Luka Clay

1.4K 108 3
                                    

Happy reading!!

Suasana kelas sudah sepi, tidak ada lagi manusia lain di sana, kecuali dua remaja yang tengah tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Sang gadis yang sudah cukup menenangkan diri itu beranjak dari duduknya.

Lelaki jangkung itu dengan sigapnya langsung meraih tangan Milly, menarik pergelangan itu hingga menubruknya telak. Clay mendekap tubuh gadis itu erat, berusaha memberikan ketenangan pada Milly yang terus saja meronta.

Clay mengendurkan pelukannya karena Milly terus saja memukul-mukul punggungnya dan mendorongnya kuat.

"Lo apa-apaan, sih, Clay?" tanya Milly dengan wajahnya yang sudah merah padam.

"Gue tahu, gue salah. Gue nggak dateng waktu pemakaman ortu lo, tapi jangan diemin gue juga, Mil," ungkap Clay dengan tulus. Dia kalut karena Milly terus saja bersikap dingin padanya seharian ini.

Gadis itu menunduk. "Gue cuma lagi pengen sendiri. Awas, minggir, gue mau pulang."

"Nggak mau."

"Clay!"

"Lo nggak sendirian, Mil. Masih ada gue yang bakal selalu ada kalau lo butuh. Gue juga tahu gimana rasanya kehilangan orang tua." Clay menghela napas panjang. "Sakit banget. Apalagi orang tua lo sendiri yang buang lo karena alasan yang nggak masuk akal."

Milly menatap sendu ke arah Clay. "Lo nggak tahu!"

Clay mengangguk. "Gue tahu, gue tahu banget."

Gadis itu menyandarkan diri pada Clay. Tangannya memukul-mukul dada lelaki itu dan tangisnya langsung pecah di sana. "Nggak, Clay. Lo nggak tahu," lirih Milly.

Clay tersenyum sedih melihat Milly seperti ini. "Pukul aja terus kalau bisa bikin lo lebih baik."

"Clay, kenapa, sih, mama sama papa harus pergi? Gue baru sebentar ngerasain kasih sayang dari mereka."

Cowok itu mengecup sekilas puncak kepala Milly seraya mendekapnya hangat. "Mungkin Tuhan pengen nguji lo supaya jadi pribadi yang lebih kuat."

Milly menggeleng kuat. "Nggak. Tuhan itu nggak ada, Dia cuma bualan."

"Ssstt, jangan gitu, Mil."

Gadis itu memundurkan diri. "Emang bener, kok. Kalau Dia ada, hidup gue nggak akan kayak gini. Masih kurang, ya, siksaan dan penderitaan gue dari dulu buat mainan-Nya?"

Clay meraih kedua tangan gemetar itu dan mengelusnya lembut. "Bukan yang kayak lo pikirin itu, Mil. Lo cuma harus lebih bersyukur."

"Cih! Apanya yang harus gue syukuri?"

"Gue misalnya," ucap Clay berusaha menghibur Milly.

Gadis itu melayangkan pukulannya pada bahu Clay. "Dasar!"

"Gue pengen cerita tentang sesuatu. Masih ingat sama bekas luka yang lo liat di UKS?"

Milly mengangguk. Atensi gadis itu mulai tertarik pada apa yang akan dikatakan oleh Clay.

∆ Milly Oswald ∆

Wanita dengan balutan gaun biru tua itu terlihat begitu anggun, apalagi ditambah dengan sepatu hak tinggi hitamnya. Dia bergelayut manja pada lengan seorang lelaki berkemeja putih di sampingnya. Seperti pasangan harmonis, mereka melenggang masuk ke dalam rumah bertema cokelat muda itu.

Baru saja memasuki ruang tamu, wanita lain yang terlihat lusuh mengenakan daster merah bercorak bunganya sudah melayangkan tatapan tajam pada mereka.

"Siapa lagi kali ini?" tanyanya sarkas.

"Dia Amara, pacar baruku," jawab lelaki itu santai. "Mar, kenalin ini Keshi, istriku."

Tangan putih bersih milik Amara melepaskan tautan pada lelaki itu dan mengajukannya pada wanita berdaster merah, Keshi.

Keshi menatap nyalang uluran tangan Amara. "Nggak sudi saya nyentuh tangan seorang pelacur!" ucapnya tegas.

"Keshi!" pekik lelaki itu.

"Apa? Kamu lebih belain pelacur ini, huh?"

Plak!

Tamparan telak dari sang suami meluncur mulus ke pipi Keshi. "Jangan berani menghina Amara seperti itu, Kesh!"

"Kenapa? Memang benar, kan, kalau dia itu pelacur?"

Plak!

"Diam!" bentak Joni pada Keshi membuat wanita itu langsung tertunduk.

Dua kali tamparan keras dari Joni ternyata cukup membuat pipi wanita itu memanas. Matanya pun ikut panas dan refleks saja cairan bening itu mulai keluar dari sana.

"Dasar istri nggak berguna," ucap Joni sebelum pergi meninggalkan Keshi seraya menggenggam tangan Amara.

Seorang anak laki-laki keluar dari balik dinding ruang keluarga. Seraya memperhatikan kepergian sang ayah, dia menghampiri wanita yang tengah menangis hingga luruh ke lantai itu.

"Bu, itu siapa?" tanyanya dengan begitu polos. Anak itu Clay, dia menyentuh punggung ibunya untuk menarik perhatian wanita itu.

"Jangan sentuh!" bentaknya.

"Clay—Aw!" Ucapan Clay kecil terpotong karena Keshi lebih dulu mendorongnya hingga jatuh menghantam meja di ruangan itu.

"Saya jijik pernah melahirkan kamu. Dasar anak sialan!" Keshi selalu saja memaki dan menyiksa Clay sebagai pelampiasan dari kekesalannya pada sang suami.

Beberapa tahun berlalu, tapi Joni tidak pernah berubah dari kebiasannya yang selalu membawa pulang wanita lain dari pertemuan perusahaan. Keshi yang sudah terlalu lelah dengan kelakuan suaminya itu memilih bercerai dan pergi dari rumah.

"Jangan lupa bawa anakmu!" titah lelaki itu dengan senyum miringnya.

Keshi tidak ada pilihan lain selain membawa Clay bersamanya. Di jalan, Clay kecil mengeluh sakit perut karena lapar.

"Kamu mau makan?"

Clay yang kira-kira berusia tujuh tahun itu mengangguk antusias. "Iya, Bu."

Keshi berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Clay. "Kamu lihat toko kue itu?"

Lagi-lagi, anak itu mengangguk.

"Ambil salah satunya kalau kamu lapar," titah Keshi.

Clay menatap sang ibu lekat. "Bukannya itu mencuri?"

"Kalau memang tidak bisa membeli harus bagaimana lagi?" ucap wanita itu seraya menampilkan ekspresi sendunya.

Walaupun Clay adalah objek siksaan-siksaan sang ibu, tapi anak itu tidak pernah sekalipun membenci Keshi. Saat dirinya melihat Keshi menampilkan wajah sendu seperti ini, Clay tetap akan merasa kasihan padanya.

Pasti ibu juga lapar, aku harus bisa ngambil roti itu, tekad Clay kecil dengan penuh semangat.

Clay mengangguk. "Clay akan ambil roti itu buat Ibu."

Keshi tersenyum puas dan mendorong Clay untuk menyeberang jalan. "Udah, sana cepetan!"

∆ Milly Oswald ∆

"Gue ketahuan nyuri roti itu dan pemiliknya yang punya tubuh sebesar gajah langsung nyeret gue ke gudang buat dicambuk habis-habisan." Clay menutup matanya seraya sesekali meringis membayangkan rasa sakitnya.

"Nggak karuan banget, tulang-tulang gue rasanya rontok semua, tapi gue bersyukur orang besar itu ngasih gue dua roti." Lelaki itu menatap Milly lekat. "Sayangnya, waktu gue liat di seberang jalan, ibu udah nggak ada di sana. Tiba-tiba kepala gue pusing dan akhirnya pingsan. Waktu bangun, gue udah ada di panti itu."

Milly tersenyum manis. Ternyata kisah Clay tidak jauh berbeda dengannya. Kisah lama yang begitu kelam hingga membawa mereka ke sebuah panti asuhan.

"Rasanya gue kayak di surga. Disambut dengan hangat di sana sama anak-anak lain, apalagi ibu panti yang udah jadi bidadari tanpa sayap buat gue."

∆ Milly Oswald ∆

See you next part 👉

Salam sayank

Nadya_Nurma 😘

Lost Control (Rebel Girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang