Ketika engkau berada di posisi terbawah, maka yakinlah Allah ada di sisi kita.
🌻🌻🌻
Bertahan dalam kondisi yang tidak bisa dikatakan baik, membuat kondisi tubuh Aulia menurun beberapa kali. Akan tetapi Dia sangat bersyukur, karena Allah telah menghadirkan sosok seorang kakak yang selalu membantunya. Sosok kakak yang begitu mengerti keadaan dan selalu berada di sampingnya sejak kecil.
Sementara bagi El, Aulia di matanya merupakan sosok seorang muslimah berhati malaikat yang begitu tangguh. Di saat kondisinya yang begitu buruk, Dia masih dapat menghandle perusahaan besar keluarga Mumtaza. Bahkan Aulia sendiri telah berhasil membawa perusahaan itu berada di puncaknya.
Namun satu hal yang hingga saat ini membuat El begitu mengkhawatirkan adiknya. Sudah lebih dari empat bulam sejak konsultasi terakhirnya bersama sang adik tentang penyakit berbahaya itu, dan hingga saat ini Aulia masih begitu enggan untuk memulai proses pengobatannya. Bahkan kerap kali El menemukan Aulia yang pingsan dengan hidung berdarah di saat jam kerjanya.
Pekerjaan yang begitu berat dengan kondisi yang saat ini telah memforsir begitu banyak energinya. Seperti yang baru saja terjadi, beberapa jam yang lalu El dan Aulia mengadakan sebuah pertemuan dengan beberapa klien dan petinggi perusahaan untuk membahas sebuah proyek besar dan saat ini Aulia sudah terbujur di ranjang kamar pribadi di ruangan kantornya. Untung saja El masuk ke ruangan Aulia setelah menyelesaikan beberapa berkas penting, dan benar saja, Dia menemukan Aulia tergeletak tak sadarkan diri di sebelah meja kerjanya dengan wajah yang pucat pasi dan hidung yang berdarah.
Sebuah pergerakan kecil menyita perhatian El yang memang sedang duduk di sofa sebelah ranjang, sambil melanjutkan pekerjaan Aulia yang tertunda.
"Mas El?" panggil Aulia mengedarkan pandangannya.
"Sudah bangun kamu? Dasar bocah nakal." kata El berjalan mendekat ke arah Aulia.
"Dek?"
"Hmm?"
"Sampai kapan?"
"Entahlah, Mas. Masih begitu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan." kata Aulia sambil memijat pelipisnya yang terasa pening.
"Kamu tahu, sudah empat bulan kamu menundanya, Dek?"
"Aku tahu, Mas. Tapi bagaimana nasib mereka yang menggantungkan hidup pada perusahaan ini?"
"Mereka akan baik-baik saja, Dek. Tolong kamu pikirkan kesehatan kamu dulu, Dek. Apa kamu pikir dengan tetap disini dan semua akan baik-baik saja?" kata El sedikit tegas.
"Beri aku waktu sedikit lagi, Mas."
"Nggak! Sudah cukup lama kamu mengulur waktu. Aku sudah mengurus semua keperluan dan keberangkatanmu dan kamu akan berangkat besok."
"Apa! Kamu egois, Mas!"
"Kamu yang egois, Dek. Kamu menyiksa dirimu sendiri tanpa berpikir akibatnya, apa itu juga tidak dzalim namanya."
"Tapi, Mas__"
"Nggak ada tapi-tapian, Dek."
"Oke, aku akan berangkat Lusa."
"Dek, kamu__"
"Lusa, atau tidak sama sekali." kata Aulia final.
"Oke, fine." kata El mengalah.
***
Pembicaraan dengan Mas El siang tadi sungguh membuat kepalaku pusing. Bagaimana tidak, di saat perusahaan berada pada tahap yang sibuk, Dia dengan seenak jidatnya menyuruhku pergi. Yah, walaupun Aku tahu niat Mas El baik, tapi sungguh Aku belum siap akan hal itu. Terlebih pada konsekuensi yang akan Aku dapatkan nanti jika Aku dapat sembuh kembali. Aku rasa pergi dari dunia ini adalah hal yang indah, terlebih lagi Aku juga tidak mau menjadi beban untuk orang-orang yang kusayangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Terindah ✅
SpiritualHidup dengan sebuah masa lalu yang kelam memang bukanlah pilihan. Namun, bukan berarti kita tidak bisa meraih masa depan yang indah dan penuh kebahagiaan. Meskipun banyak rintangan yang menghadang, bukan berarti kita menyerah pada keadaan. Cukup ikh...