(30)

1.3K 195 8
                                    

“Jeno!”

Jeno berbalik, cowok itu tadinya berjalan dari kantin hendak ke kelas, tetapi Mark memanggilnya.

“Kenapa?” Jeno berhenti dan merespon Mark.

“Lo, bilang ya... ke Siyeon,” kata Mark.

Mark menatap Jeno serius, “Kemaren, pertengkaran Om Donghae sama Bang Taeyong lebih serius,” jelasnya.

“Pulang sekolah, deh, gue bilang.”

Mark mengangguk. Jeno memang harus jujur, ia harus berpacaran dengan Siyeon dengan kejujuran, Mark tidak mau Jeno sakit hati lagi, sudah cukup ia melihat Taeyong yang sakit karena perlakuan ayahnya.

Siapa anak yang sanggup hidup sendirian? Hidup tanpa orangtua, tidak ada yang sanggup. Kalau memang ada yang sanggup pun, tidak bisa dipungkiri kalau sosok orangtua akan jadi sosok yang dirindukan.

“Gue percaya sama lo, Jeno,” kata Mark, cowok itu kemudian kembali berbalik ke kelasnya yang beda tingkatan dengan Jeno.

Sedangkan Jeno masih berjalan pelan, ia melewati kelas Siyeon. Dilihatnya Siyeon tersenyum dari dalam kelas, membuat Jeno ikut tersenyum tetapi hatinya tetap gelisah, pikirannya berkecamuk kacau.

Kaki Jeno memasuki kelasnya, setidaknya ia harus menyelesaikan pembelajaran hari ini, entah apa yang akan terjadi. Tetapi, hari ini mereka ujian semesteran, mereka harus melewati. Terutama Jeno, yang sudah merencanakan bagaimana cara dia memberi tahu Siyeon.

Setelah bel masuk, semua siswa dan siswi mengerjakan ujian mereka selama sekitar satu jam tiga puluh menit, mereka mengerjakan sekiranya dua mata pelajaran.

Ujian berlangsung selama satu jam, Jeno sudah menyelesaikan ujiannya hari ini. Sekarang bel pulang sudah berbunyi, semua peserta ujian keluar sesuai dengan urutan nomor absen.

Langkah kaki Jeno terasa berat, ia takut. Takut Siyeon akan memutuskannya atau malah dia yang akan memutuskan hubungannya dengan Siyeon, Jeno juga masih belum tahu.

“Hai,” Siyeon muncul di depan Jeno dengan senyumannya yang sangat manis, ia tampak sangat ceria, “Gimana? Bisa jawab?” tanya Siyeon.

Jeno mengangguk kemudian mengusap rambut Siyeon, “Bisa, kamu?” tanya Jeno balik.

Siyeon mengangguk mantap, “Makanya! Aku suka banget sama Matematika.”

Jeno tersenyum menanggapi pernyataan kekasihnya. “Kamu aku antar pulang, ya?”

“Tumben? Mau ketemu mama?” tanya Siyeon, “Oh, iya, katanya mama suruh kamu ke rumah. Mama minta aku kenalin pacar aku,” tambah Siyeon.

Jeno tidak tahu harus menjawab apa, “Aku belum siap ketemu sama Mama kamu,” kata Jeno, menolak.

“Kok gitu?” tanya Siyeon.

Tidak ada jawaban dari Jeno, cowok itu tetap menggenggam tangan Siyeon sampai mereka berada di parkiran sekolah. Hari ini Jeno membawa motornya.

“Naik,” kata Jeno.

Siyeon mengangguk. Ia menuruti Jeno. Entah kenapa, Siyeon merasa sekarang ia jadi memiliki jarak dengan Jeno. Apa yang dipikirkan oleh cowok itu sehingga menjadi sangat dingin dengannya?

“Pegangan,” kata Jeno lagi, setelah Siyeon naik dan memasang helm.

Motor Jeno pun melaju keluar dari parkiran sekolah, dalam hati Jeno ia tidak tahu harus berkata apa. Maaf kah? Sayang kah? Putus kah? Jeno masih tidak paham.

“Jeno,” panggil Siyeon.

Jeno tidak menyahut. Siyeon hanya diam dan tidak memanggil Jeno lagi sampai Jeno memberhentikan motornya di depan rumah Rose. Rumah pertama kali yang menjadi saksi Jeno jatuh hati pada Siyeon.

[✓] Dating With JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang