Cerahnya pagi ini disambut dengan baik oleh Jeno. Terlebih hatinya menjadi jauh lebih baik dari semalam, tentang percakapannya dengan Dream.
“Jeno, hari ini weekend. Lo cepetan mandi, kita mau kunjungan.” Taeyong membuka pintu kamar Jeno, melihat Jeno yang masih setia berpacaran dengan kasurnya.
Jeno mengangguk. Hari ini datang lagi. Tidak terasa kalau hari ini akan datang setiap tahunnya. Tetapi, peringatan hari ini pun tidak mengubah apapun, hanya menambah kerinduan untuk kakak beradik bermarga Lee itu.
Perlahan tapi pasti, memang Jeno tidak bisa melupakan. Tidak. Jeno semua tidak mudah untuk melupakan masa lalu yang buruk, masa di mana ia menangis sejadi-jadinya. Masa di mana ia merasa kesepian.
Tidak butuh waktu yang lama, Jeno selesai bersiap-siap kemudian menggunakan pakaian yang sangat rapi. Ia keluar dari kamar setelah melihat penampilannya dengan dasi dan terlihat formal itu.
Taeyong pun baru saja keluar dari kamarnya sambil membenarkan dasinya setelah mengunci pintu kamarnya, ia melirik Jeno, “Ayo,” ajaknya, kemudian Taeyong berjalan lebih dulu keluar rumah.
Sebelum mereka pergi, Jeno sempat mematikan televisi yang tidak ia tonton. Setelahnya ia keluar dari rumah dan mengunci pintu rumahnya. Ia menyusul Taeyong masuk ke dalam mobil.
Mark, Haechan, Jaemin, Renjun, Chenle dan Jisung juga pasti hadir. Rasanya seperti pertemuan keluarga saja. Entahlah, bisa disebut dengan apa itu. Intinya mereka berkumpul.
Selama perjalanan, tidak ada pembicaraan khusus antara Jeno dan Taeyong, mereka masih larut dalam pikiran mereka masing-masing, sampai Taeyong mematikan mesin mobilnya di suatu tempat.
Taeyong membuka sabuk pengaman, “Ayo, turun,” kata Taeyong.
Jeno ikut membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Mereka berdua berjalan agak ke dalam di tempat orang-orang menumpahkan tangisan. Taeyong mengunci mobilnya dan menyusul Jeno, merangkul adiknya dan berjalan bersama-sama.
Mereka sampai, di satu pohon besar. Kaki Jeno perlahan mendekat, ia tersenyum kemudian membungkukkan badannya seperti yang Taeyong lakukan, persis.
“Jeno datang, Nenek.”
Taeyong menoleh ke Jeno, melihat adiknya masih saja seperti dulu. Tidak bisa menahan tangisnya. Ia melihat mata Jeno sudah berkaca-kaca. “Lo baik-baik aja?”
“Iya,” jawab Jeno. Entahlah, bukannya menjadi cengeng, tapi, Jeno merindukan neneknya.
Hal yang paling menyakitkan baginya adalah, kecelakaan neneknya, ayahnya dan kakak kandungnya. Ayahnya, seperti yang bisa dilihat, masih baik-baik saja. Neneknya sudah ada di hadapan mereka sekarang.
Satu hal yang membuat Jeno sampai kini belum saja ikhlas dengan kecelakaan 8 tahun silam. Hingga saat ini, tidak ada yang menemukan kakak kandungnya. Kakak perempuannya.
“Nenek...” Jeno menghapus air matanya, “Apa nenek baik-baik aja, di sana?” gumamnya.
“Kakak,” Jeno menghela napasnya, “Kalau aja---”
Taeyong memicing tajam, “Berhenti, Jeno,” Taeyong tidak suka melihat Jeno selalu menyalahkan dirinya, ia merangkul Jeno dan membawa adiknya ke dalam pelukannya.
Jeno menangis tiada henti. Kabar kakaknya tidak diketahui---Kabar adik Taeyong. Neneknya sudah tidak ada, sedangkan Ayahnya, sangat hidup bebas.
Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali Donghae ke tempat Jeno dan Taeyong berpijak. Sudah sangat lama.
Beberapa bunyi langkah kaki terdengar, ada Mark yang sudah rapih dengan pakaian kemejanya. Ia meletakkan bunga di depan pohon besar itu, kemudian membungkukkan badannya 90° bahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Dating With Jeno
FanfictionTernyata untuk pacaran itu tidak mudah. Jangankan pacaran, mendekatinya saja sudah sulit, banyak sekali tantangan dan masalahnya. Tapi tidak apa, karena ini ceritaku, Lee Jeno Pacaran dengan Siyeon. start : 3 july 2019 end : 14 may 2020 stories writ...