-yang kutau, bahagiaku datangnya sesekali. Jadi aku harus menggapainya keras sekali-
Mobil milik Reihan berhenti di depan ruang IGD rumah sakit Pelita Budi. Rintik gerimis menemani langkah mereka ketika keluar dari dalam mobil.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Hardi sudah mengatakan bahwa Reihan bisa pulang terlebih dahulu, namun temannya itu hanya terdiam. Tidak menjawab apa-apa bahkan tidak berekspresi juga.
Hardi tidak sempat memikirkan keadaan sekitarnya. Segala pikiran yang yang ada di otaknya seperti hanya tertuju pada satu orang. Anthony.
Hardi sedikit berlari. Perasaan menggebu-gebu itu terlalu dalam. Bahkan tangannya tanpa sadar mengeluarkan bulir keringat.
Apa, apa yang harus dilakukannya ketika mereka bertemu. Apa yang harus dilakukan Hardi ketika Anthony menatapnya?. Berbicara kepadanya?.
Lift rumah sakit membawa mereka ke lantai tujuan. Hardi tentu tau dimana kakaknya Darres dirawat. Di dalam lift tidak ada satupun yang berbicara.
Hardi dengan adrenalinnya yang berhentak, Reihan dengan diam nya yang membisu. Diam yang memiliki banyak sekali pertanyaan. Diam yang terselip kecewa dan juga pengertian.
Selama berteman dengan Hardi, Reihan hanya pernah bertemu dengan kehidupan Hardi melalui sebuah cerita. Ketika Reihan bermain kerumah Hardi, dia tidak bertemu siapa pun. Jika bukan sebuah foto keluarga yang sudah lama dipajang di dinding ruang tamu, maka Reihan pasti percaya bahwa Hardi tinggal seorang diri di rumah semegah itu.
Suara denting lift yang berbunyi menghancurkan lamunannya. Dilihatnya Hardi yang sedikit berlari keluar dengan semangat. Reihan melihat banyak sekali ekspresi dari wajah temannya itu. Tidak satupun bisa dipastikannya.
Hardi memelankan langkahnya.
Anthony, ayahnya berada di depan pintu ruang rawat milik Darres kakaknya. Dengan setelan jas yang masih rapi dan bersih.
Mendengar suara langkah kaki, Anthony berbalik. Ditatapnya mata itu untuk beberapa saat. Mata hitam yang sangat indah. Mata yang dulu sangat lekat dan tidak bisa dilepaskan dari pandangannya.
Hardi membeku. Dia berusaha untuk bersuara. Namun yang tampak hanya sebuah senyuman. Senyuman kerinduan. Senyuman penantian yang terbalas. Senyuman kebahagiaan yang terpancar tulus dari dalam dirinya.
"Pa pa, Hardi disini"
Anthony tersenyum pelan. Dipandangnya Hardi sekilas dari atas hingga bawah. Anak itu hanya mengenakan sebuah kaos yang dipadu dengan celana panjang.
'Diluar dan disini sama saja, sama-sama dingin. Apa dia tidak bisa merasakannya?'
'Akhh sial, fokus Anthony fokus. Di hadapanmu sekarang adalah seorang yang telah mengambil separuh hidupmu. Ayo balaskan dendamu sekarang'
Anthony berdeham menetralkan suaranya.
"Begini, saya sedang ada kerjaan yang sangat mendadak dan tidak bisa ditinggalkan. Camele sudah sampai dirumah. Bisa kamu berjaga disini untuk malam ini?. Saya khawatir meninggalkan Darres sendirian."
Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan oleh Anthony kepadanya selama beberapa tahun terakhir. Suara ayahnya yang sangat tegas menerobos masuk kependengarannya. Hatinya terasa menghangat seketika. Walau orang didepannya saat ini, yang berstatus sebagai ayah kandungnya berbicara dengan bahasa formal kepada dirinya.
Apakah ini adalah saat dimana dia akan kembali lagi bersama semua keluarganya?.
'Terima kasih Tuhan'
"Bi..bisa pa, Hardi bisa"
"Maaf merepotkanmu. Tapi saya memang sedang memiliki keperluan lain. Tolong malam ini saja"
"Baik pa. Hardi dengan senang hati"
"Tapi, bisakah kamu jangan masuk ke dalam?. Bisa kamu berjaga diluar saja?. Dokter bilang Darres harus mendapat ketenangan dan tidak boleh diganggu. Ini sudah jam tidur pasien."
Hardi terdiam sesaat, Namun senyum itu lagi-lagi muncul. Kalimat bersedia lagi-lagi keluar tanpa butuh waktu lama. Hardi menganggukkan kepalanya pasti. Tanpa sadar betapa kalimat penuh penolakan itu sangat menyakitkan.
"Baiklah, saya titip Darres. Saya pergi dulu"
Baru Anthony akan beranjak pergi, sebuah sentuhan pada tangannya menghentikan waktu untuk sementara. Anthony bisa merasakan tubuhnya seperti dialiri oleh sengatan listrik.
"Papa, hati-hati ya. Jangan terlalu lelah"
Anthony menatap Hardi lagi. Senyuman yang sampai hingga ke matanya itu membuatnya terbius untuk sesaat.
'Lihat dia Anthony, dia anak kesayanganmu. Hardi ada di depanmu sekarang. Peluk dia, peluk'
Anthony menggelengkan kepalanya. Dijauhkannya tangannya hingga sentuhan itu terlepas begitu saja.
Dilanjutkannya langkahnya membali menuju lift.
Setelah kepergian Anthony, Reihan segera mendekat.
Menatap temannya yang sedang tersenyum itu. Padahal dia rasa,tadi itu bukanlah suatu hal yang bisa disenangi. Justru sedikit menyakitkan.
Jika dia tidak salah, ayah Hardi baru saja berbicara kepada anaknya dengan bahasa orang asing. Meminta bantuan dengan angkuh dan menyuruh Hardi untuk berjaga semalaman di depan ruang rawat.
'Dikursi ini?, yang benar aja'
"Har, dia bokap lo kan?"
"Hmmm"
"Terus sekarang lo bakalan jaga disini?. Diluar ini?"
"Iya"
Reihan menatap Hardi tak percaya. Temannya itu tampak baik-baik saja. Tampak berpuas hati entah karena apa.
"Har lo yang bener aja, kenapa lo ga boleh masuk?. Di dalem itu abang lo kan?. Padahal lo juga baru keluar dari rumah sakit. Lo lupa kalo lo juga sakit?"
"Rei, makasih karna hari ini lo banyak bantuin gue. Maaf, gue ngerepotin dari tadi siang. Tapi sekarang gue bakalan disini jaga kak Darres. Maaf Rei, mending lo pulang sekarang. Nanti tante rani sama om farhan nyariin lo."
Reihan menghela nafasnya kuat. Tak disangkanya kejadian seperti ini akan terjadi. Tidak pernah terpikir olehnya sama sekali.
"Har udah lo jangan ngaco. Paling enggak kalo lo mau nginep, lo masuk ke dalem. Disini dingin dan cuma ada kursi doang."
"Rei, thanks. Tapi gue bisa. Maaf ya"
Mereka saling menatap satu sama lain. Meluapkan isi hati di dalam diri masing-masing.
Hardi dengan ketidak enakan hatinya kepada Reihan dan Reihan dengan perasaan kecewa nya.
Hardi yang ada dihadapannya berbeda dengan Hardi yang selalu ditemuinya. Hardi yang ini, terasa begitu asing. Terasa begitu jauh dan sulit diraih.
Mengapa selama ini Reihan baru kali ini melihat semua. Kenapa Hardi tidak pernah mau bercerita tentang kehidupan pribadinya.
Reihan memutuskan pandangan itu. Kakinya perlahan mundur dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
"Maaf rei". Lirih Hardi yang ditemani oleh malam.
Setelah beberapa saat, Hardi fikir Reihan sudah pulang dengan mobilnya. Hingga sebuah jaket yang dilempar ke pangkuannya mengagetkannya.
"Diluar hujan dan disini dingin. Kalo lo masih sayang sama nyawa lo, pake."
Lalu Reihan beranjak pergi. Benar-benar pergi meninggalkan Hardi dengan keheningan yang menyelimuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAHARDI [Tamat]
ChickLitini sedikit cerita yang kutuliskan tentang prahardi si manis yang memiliki hati setulus samudra dan tutur selembut sutra selamat memasuki dunia prahardi dan segala kepunyaannya Amaze cover by : @queenofdraw