Biru.
Percakapan gue dan Lova beberapa hari lalu memang nggak banyak dan cenderung begitu singkat. Gue juga nggak berkesempatan lama untuk menatap matanya yang kecoklatan itu. Tapi gue seneng.
Nggak tau kenapa.
Sore itu gue nggak sengaja naik ke rooftop karena mau nyari angin sebentar setelah berjam-jam di ruang latihan. Gue butuh udara segar. Saat itu gue percaya kalo jodoh itu nggak kemana.
Gue ketemu sama Lova di rooftop.
Ada sekitar lima menit gue memandangnya dari belakang, dari kejauhan sampai akhirnya memutuskan untuk mendekat. Gue agak ragu sebenarnya saat berjalan mendekat, karena takutnya gue ganggu dia yang sedang natap senja sore itu. Gue hanya khawatir kalo kedatangan gue hanya menjadi penghalang baginya untuk berbincang dengan sang senja.
Yang bikin gue kaget saat mendekat adalah, Lova tau jika itu gue yang datang. Dia tau karena wangi parfum gue yang seperti buah peach, manis. Dia beneran hafal. Tadinya gue pikir dia hanya bohongan waktu bilang kalo dia udah hafal sama parfum yang gue pakai.
Gue mengulum senym bersamaan dengan sebuah timpukan ciki menghantam muka gue.
Brengsek.
Gue mendongak sebal saat mendapati Rama dan Akasa baru saja datang membawa seperangkat alat tempur untuk begadang, Malam ini malam Minggu dan sepertinya mereka lagi nggak berniat untuk pergi kemana-mana. Biasanya kalo malam Minggu keduanya seringkali pergi ke club ataupun bar untuk menikmati berbagai macam alkohol yang disediakan. Kadang Aksa juga ikut dengan mereka, menyisakan gue yang dirumah sendirian. Oh ya, di rumah ini gue hanya berdua sama Aksa. Ada Bibi, sebenernya, tapi karena Bibi nggak pernah nginep di sini, jadi bisa dibilang gue hanya tinggal berdua sama Aksa. Bibi datang saat pagi kemudian pulang ke rumahnya sekitar pukul lima sore dijemput anak bungsunya yang gue tau sedang mengenyam pendidikan universitas.
Orangtua gue sudah meninggal.
Dua-duanya.
Bunda meninggal empat tahun lalu. Sedangkan Papa? Ayah? Papi.. gue nggak tau harus menyebutnya sebagai siapa karena gue belum pernah memanggil panggilan tersebut seumur hidup gue. Sejak gue lahir yang gue tau, gue hanya memiliki Bunda. Hanya Bunda seorang. Gue nggak pernah tau sosok laki-laki dewasa yang seringkali disebut sebagai seorang Ayah.
Dan gue nggak tau bagaimana rasanya dicintai oleh seorang Ayah.
"Lo galau apa gimana, Bin? Kok diem aja? Datang bulan lo?" suara Akasa merasuk ke gendang telinga gue. Gue mengangkat sudut bibir gue lantas melempar sendal rumah padanya. Dia ketawa. Bangga banget bisa ngeledekin gue.
"Ngapain lo pada ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
General Fiction(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...