Biru.
Gue terduduk di kursi yang berada di paling sudut. Sisi kanan gue terdapat sebuah kaca besar tembus pandang ke pemandangan di luar sana. Gue melihat betapa ramainya jalanan siang ini. Gue menghirup kopi panas yang tersaji di depan gue, mungkin kopi panas itu sudah berangsur dingin sejak tadi karena nggak gue sentuh barang setetespun. Gue hanya memandang kepulan asapnya yang perlahan mulai menghilang.
Gue berada di cafetaria kantor. Gue nggak bisa bolos lagi setelah sejak dua hari kemarin malah mangkir dari tugas gue sebagai seorang leader. Dua jam lalu gue menemui atasan gue untuk minta maaf juga menyerahkan beberapa berkas yang memang gue pegang untuk hasil dari audisi terbuka di Jogja beberapa hari lalu. Gue nggak bisa mengambil cuti lebih lama, karena kantor sedang banyak pekerjaan dan nggak bisa gue tinggal. Beruntungnya, keadaan Aksa sudah jauh lebih baik.
Dokter sudah memperbolehkan dia dijenguk oleh orang-orang terdekat, asal dibatas orang yang menjenguknya. Hanya boleh empat orang sekali masuk. Aksa nggak boleh stres dan juga jangan diajak banyak bicara dulu. Dokter bilang perkembangan kesembuhan Aksa cukup pesat sehingga tidak memungkinkan minggu ini dia bisa pulang ke rumah. Gue bersyukur karena Aksa melakukan pemulihan secara luar biasa. Meskipun nantinya saat pulang tangannya masih harus dibebat, juga bagian rusuknya yang sempat menghantam kemudi begitu keras. Kata Dokter semenjak operasi beberapa waktu lalu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Gue jelas bersyukur banget akan fakta itu. Dan segala macam denda dan peringatan yang diberikan pada Aksa sudah diurus oleh Akasa dan juga Rama. Gue menghela napas, betapa leganya gue punya orang-orang yang segitunya mau repot dengan keadaan Aksa.
Sejujurnya gue nggak enak sudah merepotkan mereka, Akasa, Rama, Lila, juga Lova.
Sejak hari dimana Aksa terbaring di rumah sakit dan yang itu artinya gue juga harus ada di sana bersamanya. Lova nggak pernah absen untuk menjenguk atau sekedar menemani gue menunggu di kursi besi yang ada di depan ruang rawat Aksa.
Gue merasa bersalah padanya karena seharusnya Lova bisa berada di rumahnya untuk beristirahat, bukannya malah ikut begadang nungguin adik gue yang memang tanggung jawab gue sebagai walinya. Waktu tidurnya jelas berkurang dan gue takut kalo dia sakit gara-gara terlalu lelah. Gue seringkali menyuruhnya untuk nggak perlu datang, namun sepertinya Lova nggak mendengarkan itu, karena dia akan tetap datang keesokan paginya dengan bekal untuk gue. Kemudian dia berangkat ke kantor, malamnya setelah balik dari kantor, bukannya langsung pulang ke rumahnya, Lova akan menyempatkan mampir ke rumah sakit.
Gue senang.
Jelas.
Sebegitu pedulinya Lova sama gue ternyata, karena jujur gue nggak berharap diperhatikan sebegitunya oleh seseorang. Namun, Lova membuat gue berharap untuk terus mendapatkan perhatian darinya.
Gue menyisir rambut ke belakang sehingga membentuk sebuah garis lurus di antara helaian rambut gue.
"Biru." Seseorang menepuk pundak gue, mata gue berputar untuk melihat siapa yang datang. Akasa. Dia langsung duduk di depan gue kemudian mneyeruput kopi gue tanpa permisi. Gue hanya mendecih singkat. "Duh, ini kopi udah adem aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
General Fiction(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...