Biru.
Suara hujan di luar sana jadi musik latar belakang gue sekarang. Gue lagi di dalam kamar, nggak sendirian, karena Akasa lagi nginep tempat gue. Gue sebenernya nggak kaget sih kalo Akasa nginep di tempat gue, toh dia memang sering nginep di sini. Namun sejak pertama dia datang, mukanya udah nggak enak banget dilihat. Tadinya gue pikir karena lagi ada masalah sama Lila. Tapi kalo gue ingat-ingat, keduanya baru ngerayain hari jadi yang kesekian, gue lupa. Jadi mereka berdua lagi anget-angetnya. Jadi kemungkinan berantem sama Lila gue hapus dari daftar.
Gue memikirkan kemungkinan yang lain, misalnya hubungan dia sama anggota bandnya, secara Akasa adalalh leadernya, tapi nggak juga. Gue tau Akasa bukan tipe manusia yang memendam perasaan apalagi sama orang terdekatnya.
Nah, makanya gue jadi yakin, kalo sekarang ada sesuatu yang mengganjal di hati Akasa sampai dia jadi nggak nyaman kayak gini.
Gue meminum kopi yang tinggal setengah itu, lantas menaruhnya lagi di nakas samping ranjang gue.
Gue duduk bersandar di kepala ranjang, sedangkan Akasa duduk di sofa yang memang ada di dekat balkon. Pintu yang menuju balkon sengaja dibuka oleh Akasa, membuat angin dingin menusuk seluruh tubuh kami berdua.
"Sa, gue tau ada yang mau lo bicarain, sayangnya gue nggak tau apa itu."
Akasa menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa, kakinya yang disilangkan kini dia lepas, dibiarkan terbuka lebar. Matanya menatap langit-langit kamar gue.
"Lo ada masalah sama Nyokap lo atau?"
"Bukan itu, Bin."
"Terus apa?"
"Gue bingung bilangnya."
"Ya bilang aja."
"Masalahnya ini bukan tentang gue."
"Kalo bukan tentang lo, kenapa lo jadi sepemikir itu?" tanya gue heran. Dia kini mengangkat kepalanya, kedua matanya menatap gue lekat-lekat.
"Ini tentang sahabat gue."
Gue mengangguk-ngangguk, well sahabat Akasa kan banyak. "Sahabat lo nggak cuma gue, jadi gue nggak bisa menebaknya, Sa."
"Makanya itu. Harusnya gue punya sahabat satu aja, kalo gini caranya, gue jadi bingung. Takut dikira mihak dan nggak netral."
"Gue makin nggak ngerti kemana arah omongan lo, Sa. Kasih tau yang jelas, kalo lo nggak mau ngomong ya udah gue tinggal tidur nih."
"Bin."
"Apaan?"
"Gue mau bilang ini tapi lo jangan marah."
"Berasa suami istri banget lo sama gue. Fak!" gue setengah ketawa, namun saat wajah Akasa masih sama lempengnya, gue jadi menghentikan tawa gue seketika. Gue membetulkan posisi gue, menurunkan kedua kaki gue ke lantai, menyentuh ubin yang dingin. Menarik napas dalam-dalam, bersiap apapun yang akan dikatakan oleh Akasa. Karena firasat gue mengatakan kalo ini bukan sekedar berita ecek-ecek doang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
General Fiction(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...