ketigapuluh

161 40 9
                                    

Biru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biru.

Gue masih terjaga saat matahari mulai muncul dari ufuk timur. Gue beranjak untuk membuka gorden lantas melangkah melewati pintu pembatas antara balkon dan kamar gue. Gue berdiri dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana gue, jaket sudah gue lepas sejak berjam-jam lalu. Saliva gue tertelan dengan pahit dan berat. Gue menghembuskan napas dalam-dalam, ada sesuatu yang menyumbat di tenggorokan gue membuatnya susah bernapas dengan normal. Dada gue berdenyut nyeri setiap kali gue mengingat kejadian semalam.

Semalaman ini gue nggak tidur, nggak bisa tidur. Bukan. Gue hanya nggak mau tidur. Nggak tau, rasanya masih nyata banget diingatan gue soal Lova yang mencium Arthur. Sialan. Gue membenci diri gue sendiri sekarang. Gue nggak mau dan nggak bisa menyalahkan Lova, karena semenjak kejadian bubarnya gue dan Lolana gue selalu berusaha untuk melihat kesalahan dari sudut pandang gue. Dari diri gue sendiri.

Gue kurangnya dimana, sampai Lova nyari laki-laki lain saat gue nggak ada?

Apa sebelumnya gue melakukan kesalahan sama dia, sampai dia membalasnya dengan begitu sakit ke gue?

Apa gue nggak cukup baik untuk diperjuangkan dan dipertahankan, sampai Lova lebih memilih untuk bersama laki-laki lain?

Mungkin gue kurang sayang sama Lova.

Mungkin rasa sayang gue kalah sama sayangnya Arthur ke Lova.

Mungkin Lova lebih menyukai Arthur yang pandai bersikap dan menunjukkan rasa sayangnya dengan tindakan, ketimbang gue yang hanya dengan kata.

Mungkin Lova lebih bahagia saat bersama Arthur ketimbang gue.

Iya. Gue yang salah.

Gue yang terlalu cepat menyimpulkan kalo Lova suka ke gue.

Gue yang terlalu berlebihan menganggap rasa cemburu Lova adalah bentuk sayangnya ke gue, padahal bisa jadi itu hanyalah perasaan cemburu antar teman saja.

Gue yang terlalu gampang menjatuhkan hati ke orang, mentang-mentang sudah bertahun-tahun gue nggak jatuh cinta, sekalinya ada yang membuka hatinya sedikit untuk gue, gue udah terbang kemana-mana. Padahal mungkin, dianya biasa aja.

Gue. Gue yang salah. Gue yang terlalu percaya diri. Gue yang banyak kurangnya dan seharusnya gue bisa kendalikan semua itu. Perasaan gue.

Kedua tangan gue meremas besi pembatas balkon yang sedikit basah karena embun pagi. Di depan gue langit masih terlihat sedikit gelap, cahaya matahari samar mulai kelihatan. Mata gue sudah panas sejak semalam, namun gue nggak nangis. Semuanya rasanya tertahan di dada gue. Semua kata yang ingin gue ucapkan tertahan di kerongkongan. Nggak bisa gue keluarkan begitu saja.

Perih.

Dada gue nyeri banget.

Gue menelan saliva pahit.

BirulovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang