Biru.
Hari ini adalah hari terakhir bagi gue dan tim yang dikirim oleh agensi untuk melakukan audisi terbuka di Kota Pelajar ini. Sejak dua hari lalu ada begitu banyak peserta yang mengikuti audisi untuk menampilkan bakat dan talenta mereka. Gue dan tim juri sebisa mungkin untuk memilih mereka yang benar-benar memiliki kemampuan juga kerja keras luar biasa untuk mau berkembang dan terus meraih mimpi. Karena sejujurnya bakat saja nggak pernah cukup jika nggak diimbang dengan semangat dan kerja keras.
Gue tengah menyalakan rokok gue di luar ruangan, karena sedang istirahat. Gue nggak bisa rokokan di dalem karena ruangan berAC, yang ada gue langsung dilemparin kulit kacangsama seluruh staf. Makanya gue di luar. Sendirian, milih tempat berteduh. Gue nggak nyangka kalo Yogyakarta begitu panas, well, gue pernah tinggal di Yogyakarta dulu. Nggak lama, hanya sekitar dua tahun saat akhirnya Bunda memutuskan untuk pindah ke Jakarta.
Saat itu gue masih SMA kelas 3 dan Aksa kelas 1 SMA.
Gue menghembuskan asap ke udara hingga menimbulkan kabut putih membumbung di depan gue.
Telinga gue mendengar suara langkah mendekat. Langkah tersebut terhenti sekitar satu meter di samping kanan gue. Gue menoleh hanya untuk mendapati seorang Arthur Bayu Wisanggeni berdiri di sebelah gue dengan tangan di saku celananya.
Gue mendengus menatapnya jengah.
Setelah melihat kelakuannya beberapa waktu lalu pada Lova, gue benar-benar kehilangan respek sama tuh orang. Kok bisa kasar gitu sama cewek. Heran, seemosinya gue, gue nggak pernah sampai narik tangan perempuan segitu kuatnya terus pakai dorong-dorong segala. Pengecut amat.
Belum lagi fakta kalo dia punya perasaan ke Lova tapi malah sembunyi di balik kata pertemanan.
Hilih.
Kebanyakan gaya.
Dia berdehem membuat gue kembali menoleh padanya.
"Caper bener lo sama gue." gue asal jeplak aja bodo amat juga guenya.
Dia mendengus lantas bicara dengan gaya belagu. "Sori."
Gue menaikkan sebelah alis gue.
"Sori, udah mukulin lo waktu itu."
"Oh itu."
"Lova nyuruh gue minta maaf ke lo."
"Kalo lo nggak mau minta maaf ya nggak usah minta maaf. Gue juga nggak butuh maaf lo."
"Kalo bukan karena Lova yang nyuruh gue juga males."
"Cih, keliatan banget lo nggak pernah berusaha mengakui kesalahan."
Dia menatap gue sekarang dengan tatapan nggak suka. Gue nggak terkejut, toh dari awal pertemuan gue udah tau kalo dia memang nggak suka sama gue. Jadi yaudah gue hanya mengedikkan bahu tak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
General Fiction(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...