keduapuluh sembilan

140 40 16
                                    

Sepuluh hari sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepuluh hari sebelumnya.

Lova.

Gue tengah berada di balkon kamar, nggak sendirian karena ada Echa di samping gue. Dia lagi duduk menyelonjorkan kaki terus tangannya sibuk memainkan gitar, bibirnya bersenandung. Nggak terlalu keras tapi cukup untuk gue dengar. Mendengar suara Echa sedikit banyak membuat gue tenang. Nggak tau, gue lagi nggak tenang aja dengan segala keadaan yang terjadi antara gue dan Biru.

Seperti yang terakhir gue bilang, hubungan gue dan Biru makin lama makin terlihat palsu dan banyak hal yang disembunyikan. Gue dan dia sama-sama mencoba untuk nggak mengatakan apapun untuk sesuatu yang kami sembunyikan rapat-rapat. Hubungan gue dan Biru lama-lama terasa hambar, kayak ada keterpaksaan diantara kami berdua. Gue dan Biru sama-sama nggak bisa terbuka. Setiap kali gue mau bicara ke Biru, dia bakalan menghentikannya.

Gue menggelengkan kepala, mencoba untuk menyangkal kenyataan yang jelas-jelas terpampang nyata di depan mata. Gue menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan-pelan ke udara. Langit malam kian pekat, seharusnya mata gue kian berat. Tapi yang gue rasakan malah sebaliknya. Gue makin nggak bisa tidur.

"Lova, lo ada masalah? Dari tadi diem aja lo."

"Keliatan banget, Cha?"

"Yaelah, masa lo lagi ada masalah gue nggak tau, dari mata lo aja udah ketahuan kali, Lov." Katanya. Dia menyandarkan gitarnya di dinding. Kakinay diturunkan untuk menginjak lantai ubin yang dingin. Echa duduk mendekat ke gue. Dia memandang gue lekat-lekat. "Ada masalah apa sama Biru?"

"Kenapa harus Biru?"

"Karena nggak mungkin ini soal Arthur, kan?"

Gue menarik napas pendek. "Soal Arthur juga, Cha."

"Bentar.. bentar.. soal Arthur? Kenapa jadi Arthur lagi sih, Lov."

"Gue belum bilang sama lo, Cha, soal Arthur."

"Bilang apa?"

"Bilang kalo gue mulai goyah dengan kehadirannya di samping gue. Terakhir kali saat gue ketemu sama dia, gue dan Arthur ada di apartemen lo. Gue mengatakan semua apa yang gue rasakan dan dia juga. Gue jadi tau kalo dia juga punya harapan untuk bisa bersama gue."

"Terus lo gimana?"

"Gue bilang aja, kalo gue memang goyah dengan yang dia katakan. Gue nggak akan marah kalo lo nyalahin gue, Cha. Gue memang salah dan gue nggak seharusnya begini, apalagi sampai nyakitin Biru yang udah baik banget sama gue. Lo tau sendiri, semenjak gue ketemu sama dia, banyak hal baik datang ke gue, banyak momen indah yang kita lewati bareng-bareng. Mungkin Biru adalah satu-satunya cowok yang bisa bikin gue lupa.. lupa sebentar tentang perasaan gue ke Arthur. Tapi pada akhirnya sama aja, Cha. Arthur masih begitu kuat di hati gue dan gue nggak bisa bohong soal perasaan gue sendiri ke Arthur."

"Pertanyaan gue masih sama untuk lo, Lov. Lo sayang sama Biru?"

Pertanyaan itu, ini sudah hampir empat bulan gue dan Biru menjalani hubungan pacaran dan gue sekalipun nggak pernah bilang kalo gue sayang ke Biru. Sekalipun belum pernah. Dan gue benar-benar merasa sangat jahat. Jahat banget.

BirulovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang