Biru.
Gue duduk di teras rumah saat langit di ata gue berwarna keorenan. Gue nggak sendirian, karena hari ini hari Minggu yang itu artinya Aksa juga lagi ada di rumah bersama gue. Setiap Minggu, Aksa dan gue selalu menyempatkan untuk duduk berdua sekedar ngobrol. Gue tau, gue dan Aksa memang dekat dan nggak jarang saling cerita tentang masalah pribadi. Gue pikir memang itulah gunanya saudara kandung. Saling berbagi dan saling mengerti.
Namun di hari Minggu, rasanya tetap berbeda. Kenapa? karena biasanya bahasan gue dan Aksa nggak jauh-jauh dari masa lalu juga Bunda.
Hari Minggu, biasanya Bibi nggak dateng ke rumah, sengaja. Biar gue dan Aksa aja yang bersih-bersih. Lagian nggak begitu susah, karena dari kecil Bunda udah ngajarim kami berdua untuk hidup mandiri. Tadinya gue dan Aksa juga hendak menyuruh Bibi untuk nggak usah datang seterusnya, karena beliau sudah cukup lanjut usia dan rasanya nggak etis untuk tetap memperkerjakan beliau. Namun Bibi menolak dan beliau bilang, biarkan dia kerja paling nggak sampai akhir tahun ini.
Gue nggak bertanya lebih tentang alasan Bibi tersebut, namun gue mengiyakan saja. Toh gue dan Aksa nggak keberatan.
Langit belum sepenuhnya gelap dan burung-burung kehitaman terlihat mengudara di langit sana.
Gue menghembuskan napas panjang.
"Bang." Suara Aksa terdengar memulai percakapan, karena sejak setengah jam lalu kami berdua hanya diam dan nggak berniat untuk memulai bincang sore.
"Ya."
"Gimana keadaan lo?" jarang banget untuk gue mendengar Aksa bicara selembut dan seperhatian ini. Hanya kadang di saat gue sedang sakit ataupun merasa kelelahan baru dia akan bicara lembut begini ke gue.
Namun hari ini gue sehat dan nggak sedang sakit. Lantas kenapa dia bicara lembut begini pada gue? gue jadi takut sendiri.
"Menurut lo aja gimana?" tanya gue setengah ketawa. "Gue selalu deg-degan setiap kali lo tanya gue dengan nada perhatian dan lembut seperti ini. Rasanya gue mau mati besok tau nggak?"
"Jangan mati dulu, kan gue belum lihat lo bahagia." Katanya. Sudah jelas, Aksa sedang nggak bercanda sekarang. Gue membetulkan posisi duduk gue lantas memandangnya yang juga tengah menatap gue lekat-lekat. "Abang, bisa nggak lo lupain kejadian di masa lalu dan mulai hidup dengan kehidupan lo yang baru."
Gue menelan saliva gue getir. "Sa, ini baru awal tapi topik yang lo angkat berat banget." Ucap gue sedikit keberatan dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Aksa.
"Karena gue mau lo terbuka dengan gue soal masalah ini, Bang. Gue tau lo nggak suka. Tapi mau nggak mau gue dan lo harus bicarain ini secara sadar. Hanya lo dan gue. jangan lo pikir ini mudah untuk gue, Bang. Karena membuka topik ini sama aja membuka luka lama diantara kita." Katanya.
"Kalo gue ingat-ingat, gue belum pernah meminta maaf sama lo semenjak kejadian itu, Sa."
"Nggak perlu minta maaf, jika itu hanya membuat beban di hati lo semakin bertambah, Bang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
General Fiction(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...