Lova.
Gue tengah merebahkan tubuh di sofa yang ada di ruang tamu, gue nggak sendirian karena malam ini Echa nginep di apartemen gue. Dia lagi mainin gitarnya sambil sesekali bersenandung, jika gue tau lagunya, gue akan ikut bersenandung bersamanya membentuk harmoni yang entah bagaimana akan terdengar enak di telinga.
Echa memiliki suara berat yang akan membuat setiap lagu jadi terdengar sedih dan menyanyat hati. Gue selalu suka setiap mendengar petikan gitar dari Echa, membuat gue tenang dan nyaman secara bersamaan.
Echa duduk di karpet yang ada di lantai, kepalanya menyandar ke tepian sofa tempat gue rebahan.
Gue meliriknya ketika jari Echa berhenti memetik gitar.
"Ngapain berhenti?"
"Capek." Jawabnya, dia lantas menoleh ke gue. Dia menatap gue dengan tatapan menyelidik, kalo udah begini, gue tau apa yang dia mau tanyakan. Ini pasti soal Biru. Lebih tepatnya gue dan Biru. Gue menghela napas panjang, meletakkan ponsel gue dan menatapnya balik.
"Akhir-akhir ini lo mulai jarang bahas Arthur sama gue." dia memulai.
"Langsung aja kali tanyanya, gue juga tau lo mau tanya apa, nggak usah bertele-tele gitu deh."
Echa terkekeh, tubuhnya memutar, kini punggungnya mneyentuh tepian meja kaca yang ada di belakangnya.
"Jadi apa yang terjadi antara lo dan Biru?"
Gue menggaruk pucuk hidung gue yang nggak gatal, menarik napas pendek terus siap menjawab. "Gue nggak tau. Pacaran, mungkin?"
"Kok mungkin? Gimana sih lo, lo yang jalanin kenapa jadi gue yang mikir keras sih ini? By the way, lo selama deket sama Biru nggak pernah bilang apa-apa sama gue, terus tiba-tiba lo udah jadian aja gitu sama Biru? Kapan nembaknya? Kenapa nggak bilang-bilang dulu sama gue? gini-gini kan gue abang lo, Lova."
Belum apa-apa gue udah pusing duluan dengerin pertanyaan dari Echa yang udah kayak kereta api, panjang bener pokoknya. Gue menarik napas pendek.
"Bisa nggak sih lo tanyanya satu-satu? Mulut gue cuma satu soalnya."
"Ya udah. Dari kapan lo deket sama Biru?"
"Tiga bulan lalu mungkin, pas nonton konser lo itu, apa pas sebelum itu ya? Lupa gue, soalnya ya gue sama dia deketnya nggak direncanain, Cha."
"Ya mana ada deket yang direncanain, anjir lo. Ya maksud gue.." Echa bingung sendiri tanyanya, karena gue juga bingung jawabnya. Gue nggak pernah memastikan kapan gue dan Biru jadi dekat. Apa saat gue dan dia pertama ketemu di konser, atau saat dia pertama kali mengantar gue pulang, atau saat gue dan dia untuk pertama kalinya duduk berdua di rooftop kantor, atau saat kami menghabiskan waktu di Jogja, gue nggak tau kapan tepatnya.
Gue lupa.
Atau gue memang sengaja nggak mau ingat, takut. Jika suatu saat mengingat semua itu hanya bikin gue sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
General Fiction(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...