Lova.
Dua bulan terakhir, gue mengalami masa yang benar-benar sulit untuk gue lewati. Kenapa? karena gue harus terbiasa untuk nggak bersama seseorang yang biasanya ada di sebelah gue. Gue harus bisa kuat walaupun gue benar-benar ingin dikuatkan dan ditenangkan. Gue harus belajar untuk mengatasinya sendiria, ketika sebenarnya gue butuh sekali untuk ditemani.
Dua bulan terakhir, gue harus kuat sendirian ketika dua orang yang biasanya sama gue malah nggak ada di samping gue.
Echa dan Biru.
Echa, sebagai seorang yang dekat dengan gue sejak lahir, dia adalah satu-satunya garda paling depan dan yang paling siap pasang badan setiap kali gue mendapatkan masalah ataupun kesulitan. Dia nggak ragu untuk menceburkan diri pada sesuatu yang sebenarnya mungkin bisa merugikan dirinya sendiri. Belum lagi kenyataan, sekarang Echa sudah jadi seorang superstar dengan bandnya. Tapi Echa akan selalu mementingkan gue ketimbang semua itu. Bagaimana bisa gue nggak merasa begitu diperhatikan juga disayangi.
Sebelum keberangkatan Echa untuk tur terbarunya dua bulan lalu, gue dan dia berantem hebat karena dia lebih belain Biru ketimbang gue. Hampir dua minggu gue dan dia saling diam, apalagi dia jauh, itu bisa dijadikan alasan kalo gue dan dia sibuk dengan kerjaan masing-masing. Tapi nyatanya nggak gitu. Gue selalu hubungin Akasa dan tanya gimana keadaan Echa di sana, apa dia sudah makan, apa ada hal yang bikin dia nggak nyaman, juga bagaimana kondisinya selama konser, gue takut ada yang mengganjal dalam hatinya sehingga dia nggak tampil maksimal. Karena Echa adalah orang yang cukup perfeksionis, dia akan merasa kecewa jika ada satu hal saja yang dia anggap nggak sempurna.
Dan selama dua minggu itu, Echa juga menanyakan keadaan gue dari Rama dan Arthur, karena jelas menanyakan gue pada Biru bukan pilihan yang tepat. Bagaimanapun saat itu gue dan Biru sudah memutuskan untuk selesai, karena masalah yang nggak sepele.
Gue harus mengakui kehadiran Echa dalam hidup gue benar-benar sangat penting, akhirnya gue nggak bisa lagi untuk berdiam diri dan nggak mendengar suaranya. Malam hari, menjelang tengah malam, gue menelfonnya dan minta maaf sambil nangis. Iya, akhir-akhir ini gue merasa lagi jadi cengeng banget. Mungkin karena banyak hal terjadi di waktu yang bersamaan.
Gue marahan sama Echa, gue putus sama Biru dan hubungan gue dan Arthur sempatt merenggang banget gara-gara gue yang kasih harapan ke dia, tapi ujung-ujungnya gue yang nggak nepatin janjinya. Gue mempermainkan perasaan Arthur, padahal gue tau persis bagaimana rasanya dipermainkan hatinya.
Helaan napas gue lolos begitu saja dari bibir.
"Lov, you okay?"
Gue menoleh hanya untuk mendapati Echa ngulurin teh hangat ke gue. Gue meraihnya. "Makasih, Cha."
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Ya lo tadi ngehela napas dalem banget, kenapa? Ada masalah baru lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
Fiksi Umum(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...