Biru.
Ini sudah hari ketiga semenjak gue bertemu dengan Lova dan Arthur di pelataran parkir gedung kantor gue. Setelah melihat dari jarak yang dekat dan mencoba mengobrol dengan gadis itu gue merasakan sesuatu yang lain dalam dada gue. Sebuah perasaan yang akhirnya kembali muncul setelah empat tahun gue berhenti untuk menolak merasakannya karena masih terpuruk pada masa lalu.
Selama empat tahun terakhir gue nggak pernah mencoba untuk membuka hati atau mencoba untuk menyukai seseorang. Gue nggak mau. Mungkin juga gue belum siap untuk menerima risiko yang akan timbul dikemudian hari.
Bayang-bayang masa lalu itu masih menghantui gue dan kadang membuat gue kesulitan untuk bernapas. Nggak pernah mudah ketika lo ditinggal seseorang saat sedang sayang-sayangnya. Dan efek yang ditimbulkan bisa bertahan untuk waktu lama dan nggak menentu. Ini sudah tahun keempat sejak kepergiannya, tapi masih jelas diingatkan ketika dia lebih memilih untuk pergi tanpa ada sebuah kata pamit dan aba-aba sebelumnya.
Gue menarik napas dalam-dalam, meskipun ini adalah tahun keempat gue kehilangannya, rasanya dada gue masih sesak saja ketika mengingatnya.
Ketukan pintu membuyarkan lamunan gue dan menarik gue kembali ke dunia yang sekarang gue pijak. Gue mendongak untuk melihat siapa yang datang. Nggak sampai satu detik kemudian, seorang yang mukanya nggak asing itu muncul dari balik pintu.
"OY!" dia menyapa santai. Gue berdiri sambil mencibir melihat kehadirannya.
"Tumben banget lo mampir ke ruangan gue, gue kira lo udah lupa sama gue."
"Sialan. Gue kan sibuk ngeband ya wajar kalo jarang nyapa lo."
"Gaya lo digedein."
"Hahaha." Dia memeluk gue santai sambil menepuk-nepuk punggung gue.
"Kalo ini urusan sama Lila gue nggak menerima konsultasi, gue lagi pusing ngurusin debut grup baru." Ucap gue yang seperti bisa membaca pikirannya. Laki-laki di depan gue ketawa kecil lantas menggeleng.
"Nggak lah, bukan soal Lila. Santai. Kalem, BRUR! Gue ke sini mau ngundang lo."
"LO MAU NIKAH!?"
"Gue belum selesai ngomong, ANJRIT!" jawabnya.
Oh ya laki-laki di depan gue namanya Akasa Respati, banyak orang memanggilnya Akasa, gue juga memanggilnya begitu. Namanya hampir mirip dengan adik gue, Aksa. Makanya gue sering ketuker-tuker kalo manggil mereka berdua, apalagi kalo mereka lagi kumpul di rumah.
"Jadi undangan apa nih?"
"Gue kan minggu depan ada konser. Lo ikut deh nonton."
"Emang gue mau nonton konser lo?"
"BANGKE!"
"HAHAHA."
"Ini gue nawarin serius, Bin." Yap. Karena nama gue Biru, kebanyakan orang terdekat gue memanggil gue dengan sebutan Bin, biar lebih gampang dipanggil dan hanya satu suku kata saja. Sedangkan pengecualian untuk Aksa yang manggil gue dengan MBIN. Nggak tau juga darimana asalnya tuh anakn nambah-nambahin huruf M di depan Bin. Mengingatnya saja kadang bikin gue kesal. Ya kayak gimana ya, orangtua gue ngasih nama bagus-bagus eh ujung-ujungnya temen sama adek gue ngasih nama panggilan sendiri. Emang nggak ada yang bener temen-temen gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
Ficción General(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...