ketigapuluh satu

153 42 21
                                    

Biru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biru.

Ucapan Lova tiga hari lalu masih terngiang di kepala gue. Lova minta hubungan gue dan dia udahan. Putus. Selesai. Titik. Bubaran. Gimana gue harus menyebutnya. Sgue tertawa kecil, apapun sebutannya, intinya sama aja kan?

Gue dan Lova akhirnya selesai. Intinya gitu.

Tapi apa iya gue dan dia akhirnya selesai begitu saja?

Nggak tau, gue juga nggak tau.

Gue sampai bingung mau cerita apa lagi, kepala gue pusing. Segala yang ada di otak gue berantakan, kacau dan nggak tertata dengan rapi sekarang. Gue menghembuskan napas panjang.

Minggu sore, biasanya gue udah jalan atau lari kecil di kompleks deket-deket rumah gue. Tapi minggu ini nggak. Gue mungkin akan menghabiskan waktu di atas kasur seharian, nggak peduli apapun yang terjadi. Gue lagi nggak berniat untuk pergi kemana-mana. Jangankan keluar rumah, turun dari ranjang aja gue males. Nggak punya tenaga.

Alay banget ya?

Lebay?

Nggak apa-apa, dianggep begitu juga, udah nggak peduli gue.

Bodo amat.

Gue nggak bisa tahan lagi kalo perasaan gue emang lagi butuh istirahat, nggak hanya perasaan gue tapi juga fisik gue. Mata gue menatap langit-langit kamar yang seperti tengah menertawakan kesialan gue. Gue mencoba memejamkan mata, berharap bisa tertidur nyenyak di saat matahari bersinar terang begini.

Ada suara ketukan dari luar, gue menoleh tapi nggak berniat untuk beranjak dari posisi gue. "Siapa?"

"Lila." Gue sempat terkejut, ngapain Lila di rumah gue sore-sore begini. Gue langsung mengeluh memikirkan dia yang bakalan mengadu soal kisah cintanya dengan Akasa ke gue. Gue jelas lagi nggak bisa di ajak untuk diskusi masalah lain ketika gue sendiri aja nggak bisa diskusi soal masalah gue sendiri.

"Bin? Gue boleh masuk?"

Gue menarik napas pendek. "Masuk aja, La, nggak dikunci pintunya." Gue menjawab seadanya, lantas nggak lama kemudian, Lila masuk ke dalam kamar. Seperti biasa, dia menggunakan pakaian santai, kaos pendek dengan celana jins yang memperlihatkan bentuk kakinya yang indah dan jenjang.

Gue merubah posisi gue jadi duduk lantas bersandar di kepala ranjang dengan bantal yang tertumpung di belakang punggung gue. Lila berjalan mendekat kemudian duduk di tepian ranjang. Tangannya terangkat untuk menyentuh dahi gue lalu berpindah ke leher gue.

"Nggak sakit." Ucapnya pelan. Dia menatap mata gue prihatin, satu tangannya dia letakkan di kaki gue. Gue nggak punya teman perempuan selain Lila, karena gue memang nggak pinter nyari temen aslinya. Makanya dari dulu temen gue ya itu-itu aja. Rama, Akasa, Lila, Ola, itu doang. Nggak banyak, dan gue juga nggak pernah sengaja mencari teman hanya untuk ngobol hahahihi doang. Gue nggak mau hanya berbagi kesenangan dengan mereka yang gue anggap teman. Meskipun pada akhirnya mereka yang tadi gue sebutkan sudah seperti saudara gue sendiri, apalagi Lila. Dia memang seumuran dengan gue, bahkan usianya lebih tua beberapa bulan dari gue, tapi seringkali sikapnya seperti anak kecil yang membuat gue selalu berperan sebagai kakak laki-laki untuknya.

BirulovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang