Lova.
Gue nggak tau ini udah minggu keberapa semenjak gue dan Biru benar-benar mengucapkan kata pisah. Di halaman kantor, di bawah hujan deras, malam itu.
Gue menghela napas.
Ternyata, gue dan Biru benar-benar berakhir malam itu.
Dan seperti sebelumnya, gue pun kembali menjalani hidup gue seperti sebelum dia ada. Tapi ternyata nggak gampang. Karena berbulan-bulan gue menikmati setiap hari bersama Biru, ketawa sama dia, mendengarkan setiap kata-katanya yang berhasil bikin gue geleng-geleng kepala karena ada aja yang dia bahas jadi lucu. Nggak gampang untuk berjalan lurus tanpa niat menyapa setiap kali gue dan dia nggak sengaja ketemu di cafetaria ataupun di lift.
Kadang gue berpikir, kenapa kehadiran Biru begitu terasa nyata dalam hidup gue? mungkin karena dia datang diwaktu yang tepat, disaat gue benar-benar membutuhkannya. Di saat gue mulai lelah dengan perasaan gue pada Arthur yang bertepuk sebelah tangan, waktu itu gue taunya Arthur nggak mencintai gue. Karena baik gue maupun Arthur sama-sama nggak ada yang mau mengakui tentang perasaan yang kami miliki. Sedangkan sekarang, gue dan Arthur sudha sama-sama tau jika kami berdua saling suka, saling sayang, saling cinta. Tapi gue tetap nggak bisa bersamanya. Kenapa?
Jawabannya, nggak tau.
Gue menarik napas panjang, mengingat Biru nggak akan membuat gue semakin baik tapi malah semakin buruk.
Sekarang gue lagi duduk di sebuah bar, yang nggak terlalu ramai dan itu cukup membuat gue merasa terasing di sini. Gue duduk menghadap ke sebuah jendela kaca besar yang langsung menghadap ke jalanan, melihat hiruk pikuk jalanan kota yang penuh sesak membuat gue sedikit terhibur. Di luar sana masih ada banyak hal yang seharusnya gue pikirkan, tapi otak gue malah terpaku pada satu sosok.
Padmana Biru Abimanyu.
Iya, gue tau, ini salah gue dan nggak seharusnya gue malah yang jadi merasa paling tersakiti kayak gini. Pada dasarnya ini salah gue, mungkin kalo gue bisa mengendalikan perasaan gue sendiri seperti yang dikatakan Echa, semuanya nggak akan serumit ini.
Sial.
Rasanya gue mau menghantamkan kepalak gue sendiri ke tembok sekeras-kerasnya.
Gue menarik napas panjang, bersamaan dengan seseorang duduk di depan gue.
Mata kami saling menatap dalam diam. Dia nggak mengatakan apapun, begitupun gue. Kami menghabiskan lima menit pertama hanya untuk saling pandang tanpa ada yang berani bicara duluan.
Suara-suara diantara kami seolah hilang begitu saja. Gue hanya bisa fokus dengan matanya juga suara detak jantung gue yang berdetak dua kali lebih cepat. Perempuan itu memang bodoh ya. Nggak. Gue yang bodoh, gue yang lemah dan gue yang payah.
Arthur duduk di samping gue dengan tatapan dingin namun gue tau ada sebuah perhatian di dalam matanya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
General Fiction(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...