Biru.
Bulan Desember sudah datang lagi.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Desember akan jadi bulan terakhir yang akan gue lewati tahun ini dan biasanya gue akan menyambut bulan Desember dengan penuh suka cita. Karena itu artinya tahun ini akan selesai digantikan tahun yang baru. Gue harus bersiap menyambut hal-hal baru yang menyenangkan, yang juga pastinya akan jadi pengalaman baru dalam hidup gue.
Tapi nggak tau kenapa, rasanya gue begitu berat untuk menyudahi tahun ini. Ada begitu banyak hal yang terjadi pada gue tahun ini. Berat. Jelas, gue nggak mau sok kuat, bahkan tahun ini gue menangis setelah sekian lama menahan air mata gue supaya nggak keluar. Nggak hanya sekali, beberapa kali gue menangis karena kehilangan. Juga beberapa peristiwa yang membuat gue akhirnya menyerah dan nggak mau sok kuat.
Gue tau menangis sama sekali nggak bisa jadi acuan bahwa seseorang itu lemah, ataupun mudah kalah. Tapi untuk gue yang terbaisa menahan air mata dan nggak menangis di depan orang lain, rasanya tetap aneh dan nggak nyaman.
Saat Aksa kecelakaan, mau nggak mau gue harus terbang dari Yogyakarta ke Jakarta pada tengah malam, gue masih capek dan belum tidur selama puluhan jam, tapi apa gue bisa tidur saat kejadian itu? Jelas, nggak. Nggak mungkin gue tidur dengan nyaman setelah mengetahui adik gue satu-satunya kecelakaan.
Tadinya gue pikir, kecelakaan Aksa menjadi satu-satunya yang membuat gue terkejut sampai lutut gue lems, tapi nyatanya ada hal lain yang bikin gue ternganga. Kehadiran seseorang yang selama empat tahun nggak gue temui dan gue nggak tau bagaimana kabarnya tiba-tiba muncul di sana dengan senyum bulan sabitnya. Gue kaget, gue hancur berantakan mengingat kenangan pahit antara gue dan dia.
Lolana, atau biasa gue panggil Ola.
Dia datang kembali dengan membawa fakta baru. Sesuatu yang akhirnya gue tau setelah empat tahun lamanya. Empat tahun gue menuduhnya, empat tahun gue menjadikan dia menjadi seseorang yang paling bersalah, empat tahun gue nggak mau berusaha mencari kebenaran yang sesungguhnya. Akhirnya hari itu datang, kebenaran datang bersama kehilangan.
Gue menghela napas panjang.
Sejujurnya, sampai sekarang mengingat peristiwa kematian Ola di hadapan gue sungguh bikin hati gue sakit hati. Semua penyesalan juga kata 'seandainya' dan 'seharusnya' terus bermunculan di otak gue.
Seandainya dulu gue mendengarkan dia dan nggak kalut oleh amarah, mungkin kejadiannya nggak seperti ini.
Seandainya gue tau dari awal dan mau mencari tau, mungkin Ola nggak akan pergi.
Seandainya gue nggak marah-marah dan berujar kasar padanya, mungkin kenyataan yang sekarang akan berbeda dengan yang sebelumnya.
Seharusnya gue bisa menahan emosi gue meskipun sudah diselingkuhi.
Seharusnya gue bisa mengendalikan perasaaan geu sendiri, dan menggunakan hati gue untuk memaafkan.
Seharusnya gue sanggup untuk menerimanya kembali bukannya memutuskan sebelah pihak, lantas menganggapnya yang paling berdosa. Padahal nyatanya gue juga melakukan kesalahan. Gue nggak mau bertanya dan berburuk sangka, selama empat tahun gue menyalahkannya atas segala yang terjadi. Selama empat tahun itu gue hampir nggak mau buka hati untuk perempuan manapun karena bayang-bayang Ola masih begitu kuat di dalam hati gue. Gue menyakiti diri gue sendiri atas dasar kemauan gue sendiri, tapi gue justru menjadikan Ola kambing hitam bahwa dialah penyebab segala kerusakan yang terjadi dalam diri gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
Fiksi Umum(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...