tentang kami yang berakhir jadi teman

273 35 7
                                    

Biru.

Gue melangkahkan kaki ke sebuah bangunan besar dengan arsitektur yang megah dan menawan. Di beberapa saudutnya geu bisa melihat patung-patung malaikat yang sengaja dipajang di sana sebagai sebuah simbol juga keindahan.

Rasanya sudah begitu lama gue nggak melangkahkan kaki ke bangunan yang suci serta digunakan sebagai tempat ibadah dan berdoa ini. Meskipun menurut gue berdoa dimanapun akan sama saja selama niat dan tujuannya baik. Tapi mungkin semuanya akan lebih khusyuk jika dilakukan di sini.

Gereja.

Lama banget gue nggak ke sini, apalagi setelah Bunda meninggal, gue sampai lupa bagaimana rasanya ikut ibadah setiap minggu pagi di tempat ini. Tempat dimana Bunda selalu bilang kalo semuanya sudah ada yang mengatur dan jangan pernah takut dengan takdir yang diberikan karena Tuhan itu baik dan maha murah. Awalnya, gue nggak percaya. Sangat nggak percaya, apalagi setelah kepergian Bunda, juga Ola yang bikin hati gue tersiksa bukan main. Tapi kemudian gue sadar, saat gue kehilangan orang yang gue sayang maka gue akan mendapatkan mereka yang menyayangi gue lebih dari yang gue tau.

Mereka yang gue sebut teman.

Mereka yang pada akhirnya berada di samping gue apapun keadaannya.

Rabu yang sendu, langit di luar sana terlihat mendung.

Gereja yang gue kunjungi begitu sepi, mungkin karena gue datang terlalu pagi, karena kebetulan gereja ini buka setiap hari tanpa batasan waktu. Gereja yang gue datangi nggak jauh dari rumah gue, makanya gue datang kemari jalan kaki.

Jam setengah enam pagi, gue udah di sini.

Duduk di kursi kayu panjang berwarna kecoklatan lengkap dengan kemeja panjang yang gue tekuk sampai siku, juga celana bahan berwarna hitam yang jarang gue pakai. Beruntung celananya nggak terlihat usang dan luntur, karena hari biasa gue nggak pernah pakai celana model begini. Celana jins lebih cocok untuk gue ketimbang celana bahan karena membuat gue terlihat seperti bapak-bapak yang mau ambil raport anaknya.

Gue memandang pohon natal yang ada di sudut depan gereja, tingginya mungkin sekitar dua meter penuh dengan bola keemasan dan merah yang terpasang mengelilingi pohon natal dari atas sampai bawah. Dari kejauhan gue nggak bisa menyebutkan ada apa saja yang terpasang di sana, tapi kemungkinan ada miniatur santaclaus, rusa juga kristal salju yang gemerlapan.

Gue menarik napas panjang saat seseorang duduk di samping gue tanpa bicara.

Jujur gue terkejut.

"Lova.." gue menyebut namanya, membuat dia yang sekarang tengah memakai dres berwarna hitam itu tersenyum ke arah gue. Senyumnya nggak berubah bahkan setelah bertahun-tahun gue bersamanya, walaupun hanya sebagai seorang teman biasa.

"Kenapa nggak ngajak kalo mau ke gereja? Kan bisa sekalian." Katanya bertanya sambil meninju lengan gue lemah.

"Gue pikir lo masih tidur tadi, lagian siapa yang mau ke gereja jam setengah enam pagi begini?" gue ketawa kecil. Semalam, Lova nginep di rumah gue, nggak hanya Lova, Echa, Akasa, Rama, Lila juga Arthur nginep di rumah gue karena berniat untuk melakukan kebaktian bersama.

"Bukannya udah janji mau kebaktian bersama? Kenapa malah berangkat sendirian?"

"Pengin ngadu sebentar saja sama Tuhan, sendirian."

"Gue ganggu?"

"Nggak lah."

"Mau ngadu apa emangnya?"

BirulovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang