keduapuluh enam

161 42 18
                                    

Arthur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arthur.

Memendam perasaan memang nggak pernah enak.

Nggak ada yang bisa gue lakukan selain mengaguminya dari jauh. Menjadi pengecut perasaan ternyata cukup membuat gue sakit hati setiap detiknya. Terlebih ketika menyadari jika dia yang gue cinta udah jadi milik orang lain.

Kalo sudah begini, siapa yang mau disalahkan?

Di awal, gue nggak suka bagaimana cara Biru yang dengan terang-terangan mengungkapkan perasaannya pada Lova. Bagaimana cara dia mengatakan setiap janji dan pernyataan yang bikin Lova memilih bersamanya.

Kadang, gue berpikir, gue ini siapa bagi Lova. Selama mengenalnya, gue nggak pernah tau siapa laki-laki yang dia cintai sebenarnya. Siapa laki-laki yang mengisi hatinya, siapa yang berhasil menyentuh bagian paling dalam dari relung hatinya. Selama ini gue hanya berusaha menjadi teman yang baik.

Teman.

Seorang teman yang bakalan ngingetin dia makan padahal dia sudah dewasa dan bisa makan sendiri tanpa diingatkan. Seorang teman yang akan bikinin dia coklat hangat tanpa dia suruh, karena gue tau dia malu buat bilang itu ke gue. Paling dia bakalan kode-kodean doang. Dia nggak senyaman itu untuk ada di dekat gue, begitupun gue. Bukan nggak nyaman dalam bentuk yang nggak baik, tapi karena gue takut semakin dekat dan nyaman gue semuanya akan semakin rumit.

Gue nggak mau itu terjadi, terlebih jika gue nggak sanggup untuk bicara tentang apa yang gue rasakan ke Lova. Dulu, gue nggak berani menatap matanya lama. Gue takut jika gue makin jatuh cinta ke Lova dan dia malah jadi menjauh dari gue karena gue memperlihatkan sikap gue yang agresif. Makanya gue milih diam, mengaguminya dari jauh. Menjadi teman pendengar yang ada untuknya ketika dia butuh telinga untuk mendengar keluhnya. Gue siap. Gue selalu ada.

Tapi.. bukannya yang selalu ada juga nggak cukup.

Iya.

Gue kalah, sama dia yang selalu berusaha untuk bicara, untuk mengungkapkan rasa yang dimiliki. Dan laki-laki itu adalah Padmana Biru Abimanyu, seseorang yang berhasil mengambil hati Lova sepenuhnya tanpa ada sedikitpun celah untuk gue mengambil sisanya. Nggak ada. Nggak ada yang tersisa.

Lova nggak punya perasaan ke gue.

Gue juga tau dari awal, nggak mungkin Lova menyukai laki-laki kaku dan canggung kayak gue. Laki-laki yang nggak pintar untuk memimpin pembicaraan. Yang bisa gue lakukan hanya melakukan sesuatu untuknya. Gue selalu berpikir jika bertindak itu adalah yang terbaik ketimbang hanya kata-kata. Tapi ternyata nggak begitu, gue lupa bahwa seseorang juga butuh diucapin kata-kata yang baik, nggak hanya sekedar diperlakukan baik.

Misalnya.

Terima kasih.

Gue menghembuskan napas panjang bersamaan dengan suara seseorang menyadarkan gue dari lamunan. Gue menoleh ke arahnya, tangan gue lantas mengambil handuk berisi es batu yang sudah terbungkus rapi. Gue menempelkannya pelan-pelan memastikan jika dia yang gue tempeli handuk berisi es batu itu nggak kesakitan.

BirulovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang