Arthur.
Hidup jauh dari kasih sayang orang tua membuat gue nggak pernah tau bagaimana rasanya disayangi secara penuh sekaligus utuh. Gue nggak pernah tau rasanya bagaimana rasanya untuk mengabdi dengan sungguh pada orang yang membuat gue lahir di dunia ini. Gue nggak pernah melihat wajah kedua orangtua gue, bagaimana bentuknya, begaimana perawakannya juga bagaimana mereka hidup. Gue nggak tau, dan mulai merasa untuk nggak ingin tau tentang mereka.
Selama dua puluh enam tahun ini, gue sudah diangkat anak oleh dua orang yang sudah menganggap gue anakn sendiri. Selain mereka, gue nggak memiliki orang yang bisa gue percayai dan gue hormati deng seluruh hidup gue. Kepada merekalah gue mengabdi dan mengahbiskan kasih gue tanpa pernah berpikir untuk berhenti. Mereka yang membuat gue merasa hidup dan tanpa mereka gue bukanlah Arthur yang sekarang.
Dulu, mungkin saat gue masih berada di jenjang SMA, gue kerap kali mencari orangtua kandung gue, gue berusaha untuk menemukan keduanya sampai pada akhirnya gue sampai di pertanyaan yang menyadarkan gue. Membuat gue tertampa dengan kenyataan pahit.
Apa kedua orangtua gue juga mencari gue sama seperti yang gue lakukan sekarang?
Sebuah pertanyaan yang akhirnya membuat gue untuk menyerah dan menyudahi segala pencarian gue. Seharusnya gue fokus untuk memberi usaha terbaik pada orangtua angkat gue yang sudah bertaruh nyawa dan tenaga demi kesuksesan gue di dunia. Gue mulai mencoba untuk nggak memikirkan kedua orangtua kandung gue karena takut akan menyakiti hati orangtua angkat yang sudah sepenuh hati merawat gue sejak bayi.
Namun belum sempat mereka mencecapi kesuksesan anak yang mereka rawat dengan penuh doa dan harapan, Tuhan malah lebih dulu mengambil keduanya dari sisi gue. Tujuh tahun yang lalu, Tuhan mengambil nyawa kedua orangtua angkat gue diwaktu yang bersamaan. Keduanya tengah berada di dalam sebuah mobil yang membawa mereka ke tempat tinggal gue yang baru di Jakarta, karena saat itu keduanya tinggal dan menetap di Bandung. Tadinya gue melarang mereka untuk datang, karena jarak yang jauh belum lagi jika hujan dan jalanan licin. Kebetulan saat itu memang musim hujan, gue sudah melarang dan mengatakan biar gue saja yang pulang ke Bandung, namun waktu itu Mama bilang kalo dia sudah kangen sama gue dan mau ketemu gue. Takutnya, gue sudah mulai sibuk untuk banyak hal.
Gue nggak tau jika itu adalah percakapan terakhir dengan mereka, karena sampai mereka menutup mata, gue belum sempat untuk bertemu dengan keduanya. Mereka keburu dipanggil oleh yang maha kuasa. Gue marah dan hancur.
Gue marah pada diri gue sendiri, kenapa gue nggak mencoba untuk mencari cara supaya bisa pulang ke Bandung barang sehari saja? Kenapa gue nggak mencoba untuk mencegah mereka lebih keras lagi? Tapi apapun yang gue lakukan, nggak akan pernah bisa mencegah takdir.
Beberapa hari lalu gue diingatkan bagaimana rasanya memiliki orangtua.
Saat menginap di rumah Biru. Ya. Akhirnya gue menginap di rumahnya untuk semalam. Tadinya gue nggak tau jika akan ada acara dihari berikutnya, gue berniat pulang ketika pagi datang namun malah gue mendapat kabar dari Akasa jika mereka akan melakukan doa bersama di pusara ibunya Biru yang sudah pergi lima tahun lalu. Gue nggak mungkin pergi begitu saja. Nggak tau kenapa gue merasa perlu untuk ikut mendoakan ibunya Biru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
General Fiction(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...