keduapuluh empat

167 42 6
                                    

Lova

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lova.

Gue duduk di cafetaria setelah hampir sepuluh jam lamanya gue duduk di studio untuk menyelesaikan pekerjaan gue. Gue menyandarkan punggung gue ke sandaran kursi, tangan gue meraih teh hangat yang masih tinggal setengah gelas. Gue menyesapnya pelan-pelan sembari menikmati aroma harum yang menusuk hidung. Tangan gue menyisir rambut ke belakang sembari sesekali mata gue meneliti setiap inci cafetaria. Mencari seseorang yang biasanya akan datang menghampiri gue sambil senyum yang menampakkan lesung pipinya.

Gue jadi tersenyum hanya dengan membayangkan sosoknya tersebut.

Padmana Biru Abimanyu.

Gue meremas jari-jari tangan gue, sesekali melihat deretan kuku yang sudah tandas diporong rapi oleh Biru beberapa hari lalu. Senyum gue terkembang lagi.

Gue nggak bisa bohong kalo Biru benar-benar bikin gue nyaman, belum lagi setiap kata-kata yang berhasil bikin gue tenang dalam waktu sebentar. Namun beberapa hari ini, gue merasa ada yang disembunyikan oleh Biru dari gue. Gue sendiri nggak tau apa itu, namun yang jelas, hal itu secara nggak langsung bikin hubungan gue dan Biru jadi sedikit canggung.

Sekarang, gue merasa lebih baik, nggak kayak beberapa hari lalu.

Gue mencoba untuk berpikir positif, mungkin gue dan Biru sama-sama sedang mencoba untuk mendalami karakter masing-masing dalam hubungan ini. Setelah malam itu, saat gue menangis di rumah Biru karena kecurigaan gue terhadap Biru, gue memilih untuk berpikir lebih rasional. Gue nggak mencoba untuk mencari-cari hal apa yang disembunyikan Biru. Gue hanya berpikir, kalo memang Biru sayang sama gue, dia pasti akan bilang ke gue apapun itu. Karena gue pun begitu.

Gue janji sama dia kalo akan mengatakan apapun pada Biru.

Nggak peduli apapun itu.

"Hei, Lov." Kepala gue refleks mendongak untuk mendapati Arthur berdiri di samping gue dengan satu cup kopi di tangannya. Gue menyunggingkan senyum lantas membalas sapaannya.

"Hei, Ar."

"Gue duduk ya?"

"Duduk aja."

Arthur pun duduk di kursi yang ada di seberang gue. Cup kopinya dia letakkan di samping gelas teh milik gue. Gue menatapnya dengan tatapan santai dengan senyum yang masih ada di sudut bibir gue.

"Beberapa hari ini gue ketemu lo terus deh perasaan. Lagi banyak yang diurus di kantor ya?"

"Iya nih." Jawabnya singkat. Sebenarnya gue nggak terlalu terkejut dengan jawaban-jawaban singkat dari Arthur, karena toh dia memang seperti itu, kan.

Bagaimana gue harus menyebut hubungan gue dan Arthur pada kalian? karena gue sendiri nggak begitu paham dengan hubungan yang kami jalani. Gue menganggap Arthur sahabat gue, kami berteman lama. Namun gue malah memiliki perasaan padanya sebagai seorang perempuan. Dan lagi perasaan gue ke Arthur masih ada sampai sekarang, saat gue bersama dengan Biru.

BirulovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang