Lolana.
Tangan Jeviar melingkar erat di leher sampai gue kesulitan untuk bernapas. Gue harus sedikit menarik tangannya ke bawah supaya napas gue bisa berjalan lancar. Gue menatap Biru lekat-lekat, semoga dia bisa melihat kesungguhan gue bahwa dia harus pergi dari sini sekarang juga. Nggak ada yang perlu dia dengar lagi. Sudah cukup malam ini dia terguncang mendengar kenyataan bahwa gue menjadi boneka mainannya Jeviar selama empat tahun ini.
Ya, gue harus melunasi utang Bapak pada keluarganya Jeviar dan apalagi yang bisa gue kerjakan selain melakukan apa yang dia mau? Lagipula setelah Bapak dipenjara Jeviar sama sekali nggak melepaskan tangan gue, gue harus tetap membayar utang Bapak.
Mungkin ini karma untuk gue, untuk perempuan yang lebih milih memenjarakan ayahnya.
Gue meneguk saliva lantas menatap mata Biru lagi, tatapan gue memohon padanya.
"Just go away, Mbin.."
"Jelasin.. bilang sama gue kalo yang diomongin Jeviar itu bohong, La.."
Gue hanya menggeleng. Membenarkan jika yang dikatakan oleh Jeviar itu adalah benar adanya dan Jeviar nggak bohong. Jeviar memang brengsek namun malam ini dia jujur sejujur-jujurnya pada Biru dan teman-teman gue.
Empat tahun lalu, Biru memang mergokin gue di klub malam ini bersama Jeviar, Biru mengira kalo gue main belakang padahal saat itu gue sedang dipaksa untuk menandatangani surat perjanjian untuk menjadi penghibur di klub malam ini. Nasi sudah menjadi bubur dan gue udah kepalang basah ketauan sama Biru, jadi yaudah lah, gue katakan sama dia kalo gue memang main belakang dan akan menikah sama Jeviar. Dan gue mengatakan bahwa gue akan pergi jauh dari mereka. Jauh. Jauh banget.
Gue nggak ada pilihan lain.
Gue nggak mungkin bilang ke Biru kalo gue akan menjadi wanita penghibur, apalagi mengatakan padanya gue akan jadi boneka mainannya Jeviar. Nggak mungkin. Sudah cukup gue hina dimata orang lain, tapi jangan dihadapan Biru dan teman-teman gue.
Sudah cukup.
Akhirnya di sinilah gue berada selama empat tahun berlalu.
Setelah kejadian itu, satu hal yang gue pastikan adalah Biru dan yang lainnya nggak akan pernah datang kemari lagi.
Mereka mengira gue benar-benar pergi jauh dari hadapan mereka. Padahal nyatanya gue selalu ada di sini, di dekat mereka. Hanya saja untuk menampakkan wajah di depan mereka gue nggak sanggup.
Empat tahun itu, gue tau semuanya.
Tentang Biru yang sering mabuk-mabukan, Biru yang sempat ngobat dan kerjannya hanya berkelahi sama orang dibar-bar ibukota, gue tau. Gue juga tau dia hampir masuk penjara, gue juga tau saat dia nyaris dijebloskan ke rumah sakit jiwa saking depresinya dia setelah kehilangan Bunda.
Gue tau semuanya. Namun gue nggak bisa kembali mendekat, gue nggak mungkin kembali setelah keputusan yang gue ambil.
Setiap malam gue menangis dan karena itu juga gue selalu dapat pukulan dan nggak jarang gue disabet sama sabuk gara-gara nggak becus kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
General Fiction(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...