kelimabelas

179 51 7
                                    

Arthur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arthur.

Gue baru kelar urusan di agensi sekitar jam sebelas malam. Kebetulan hari ini gue nggak sama manajer, jadi gue bawa mobil sendiri dan gue parkir di parkiran basement. Sebelum naik lift gue sempat melirik ruang kerja Lova, lebih tepatnya studio yang biasa dipakai oleh Lova dan Rama. Gue berniat untuk mampir sebentar namun langkah gue terhenti. Sudah jam segini, mana mungkin Lova masih ada di kantor. Akhirnya gue meneruskan jalan menuju lift.

Sebagian penerangan kantor sudah dipadamkan, hanya beberapa lampu utama yang masih menyala terang. Begitupun dengan bagian basement. Gue sampai harus menyipitkan mata saat mencari letak mobil gue.

Bukannya mendapatkan keberadaan mobil gue, mata gue malah menangkap sosok yang tengah berjongkok di samping mobil. Gue mendekat untuk memastikan karena dari jauh gue bisa melihat warna rambut yang menyala di kegelapan.

Dan benar saja, sosok itu adalah Lova yang tengah tersedu.

Lova menangis?

Gue buru-buru menghampirinya, kaki gue tertekuk untuk menyamakan posisi kami berdua.

"Lova.. hei.. why are you crying?" tangan gue menyentuh bahunya. Lova masih tergugu saat wajahnya mendongak untuk bertatapan dengan mata gue. Gue makin tersentak saat menyadari mata Lova yang sudah begitu sembab sehingga pipi dan wajahnya mengkilap ditimpa cahaya, saking banyaknya air mata yang tumpah.

"Lova.. what happen to you?"

Bukannya menjawab Lova malah langsung merangsek untuk meluk gue. Gue kaget. Tapi bukan karena Lova meluk gue, tapi karena satu nama yang disebut oleh Lova saat memeluk gue.

"Ar.. Biru.."

Hati gue mencelos. Gue menggigit bibir bawah gue, apa kiranya yang dilakukan oleh Biru sampai Lova menangis begini. Jika menuruti ego, gue pasti sudah pergi dari saat detik pertama Lova mengucapkan nama Biru. Namun gue tetap bertahan di sini untuk Lova. Untuk memeluknya meskipun gue tau bukan gue yang dia butuhkan sekarang.

Gue meneguk ludah.

Tangan gue mengusap punggung Lova.

Dia masih menangis tersedu sembari sesekali menyebut kata yang nggak bisa gue tangkap sepenuhnya. Gue nggak banyak bicara, mengajak seseorang yang sedang menangis melakukan percakapan hanya akan memperburuk suasana. Makanya gue memilih diam saja.

Sekitar lima belas menit Lova mendongakkan wajahnya, gue menunduk lantas jari gue menyeka butiran air mata yang masih menetes itu. Gue menatapnya selembut mungkin lalu desah napas gue lolos.

"Udah lebih tenang?"

Dia mengangguk, napasnya masih tersengal. Gue akhirnya membantunya untuk berdiri. Tangan gue masih di bahu Lova, saat gadis itu mengusap air matanya sendiri di wajah.

"Gue tadinya mau pulang, tapi nggak bisa nyetir sendiri."

"Kenapa nggak sama Rama atau Akasa."

"Jangan bahas mereka." Jawab Lova datar. Gue mengerutkan kening. Ada apa lagi dengan Rama dan Akasa, kenapa tatapan Lova jadi jengah saat gue bicara soal keduanya. Namun gue nurut. Gue nggak membahas keduanya lagi.

BirulovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang