Biru.
Pagi sudah hampir menyapa ketika gue berlarian di lorong rumah sakit menuju bangsal yang dimaksud oleh Lila. Rumah sakit memang masih sepi, gue celingukan mencari bangsal yang dimaksud. Akhirnya gue menanyakan pada uster dan dengan baik hati suster memberitahu gue ruangannya yang ingin gue tuju.
Dari jarak sekitar seratus meter gue bisa melihat Lila yang tengah terduduk sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gue berlari menghampirinya. Dada gue masih bergemuruh sejak keberangkatan gue dari Yogyakarta tengah malam tadi. Beruntung gue mendapatkan penerbangan terakhir berkat salah satu staf yang dengan cekatan memesankan tiket untuk gue. Gue bahkan nggak sempat berkemas-kemas sehingga hanya meninggalkan pesan pada Akasa untuk membereskan barang-barang gue di kamar. Gue ke Jakarta hanya bawa dompet dan ponsel. Itu aja.
"Lila!" Lila menoleh ketika suara gue terdengar terengah-engah akibat berlarian.
"Biru!" Lila langsung bangkit dari posisinya dan menghambur ke pelukan gue. Wajahnya bengkak, matanya sembab. Dia pasti menangis sepanjang malam. Gue memeluknya untuk menenangkan meskipun pada dasarnya gue sama cemasnya dengan Lila.
Gue mendorong tubuh Lila supaya gue bisa melihat wajahnya.
"Aksa gimana?" tanya gue.
Lila mencoba mengatur napasnya sebelum menjawab. "Operasinya berjalan lancar, Bin.." itu dulu, sudah cukup untuk gue sedikit lega. "Kata dokter kita hanya perlu menunggu Aksa sampai siuman. Mungkin nanti malam atau besok pagi."
Gue menelan saliva lantas mengangguk paham. "Sebenarnya apa yang terjadi, La? Kenapa Aksa bisa kecelakaan?" gue bertanya berharap mendapatkan pencerahan karena pertanyaan itu terus menganggu gue di perjalanan.
"Gue nggak tau kejadian pastinya, Bin, tapi keterangan dari polisi tadi malam, Aksa mengemudi sambil mabok."
Gue mengerutkan kening, Aksa nggak pernah mengemudi sambil mabok sebelumnya. Maksud gue kalopun dia mabok, dia kaan menelfon supir panggilan. Dia selalu ingat pesan Bunda untuk nggak nyetir di bawah pengaruh alkohol. Gue tau Aksa memang brengsek dan nggak tau aturan, namun ketika Bunda memberikan pesan padanya, dia nggak akan pernah lupa ataupun melanggar.
Gue jadi makin bingung.
"Aksa nggak pernah nyetir sambil mabok, La."
"Itu juga yang ada di otak gue, Bin. Apa yang bikin Aksa nyetir sambil mabok dan mengabaikan amanat Bunda." Lila sama bingungnya. Gue mengecap bibir gue, mengusap punggung Lila yang terlihat masih terkejut.
"Yaudahlah, itu urusan nanti. Kita bisa pikirkan besok-besok, yang penting sekarang Aksa sudah lewat masa kritis, kan?" tanya gue memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birulova
Fiction générale(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketika gue banjir sama peluh. Di sana, di puncak, kalau pada akhirnya lo lebih milih bersama orang lain y...