Alvaro 48

2K 97 0
                                    

Ada kalanya jarak menjadi
Alat pengajaran.


"Kakak ganteng, ayo!."

Bocah lelaki itu tersenyum, lebih tepatnya sebuah paksaan. Bobot papan yang tengah ditahannya tak sebanding dengan ukuran tubuhnya dikala itu.

"Cepet!!."

Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya, lalu merangkak berjalan melalui lubang dirumah itu. Bocah lelaki itu hampir tak tahan menahan papan kayu yang tengah ditahannya.

"Ayo, kak!." seru gadis kecil itu.

Dengan sekuat tenaga bocah lelaki itu melewati lubang itu dengan satu tangan yang sibuk menahan bobot papan kayu di atasnya.

"Kakak ganteng. Awas!."

Tarikan tangan seorang wanita paruh baya menghentikan aksi bocah lelaki itu untuk melewati lubang itu. Bocah lelaki itu hanya tersenyum, menyuruh gadis kecil itu untuk pergi dahulu.

"Arghh!."

Nafas Alvaro naik turun setelah spontan bangun dari tidurnya. Cowok tampan itu memukul-mukul kepalanya. Berharap mimpi buruk sialan itu hilang. Ia muak mengkonsumsi obat itu lagi dan lagi.

"Gue capek!." erangnya.

Kenapa harus dia?. Apa ia terlihat begitu kuat hingga ia mendapat hukuman di usia sekecil itu?. Dia hanya ingin beraktivitas layaknya seorang remaja saat ini.

Ia tau mengeluh tak akan menyelesaikan masalah. Namun, hanya dengan mengeluh setidaknya ia merasa bahwa ia tak sepenuhnya terluka. Hanya dengan cara itu ia bertahan hidup.

Tarikan sebuah kursi menarik perhatian kedua manusia yang tengah berada di meja makan itu. Alvaro mengedarkan pandangannya, ia tak melihat Fio dimeja makan itu.

"Ma, Fio kemana?." Tanya Alvaro.

Tante Arini bangkit dari duduknya. "Ga tau."

Alvaro mengerutkan dahinya bingung menatap mamanya yang beranjak dari meja makan. Raut wajah sang mama pun tak seceria biasanya. Ia menolehkan kepalanya pada Alvin, berharap adiknya itu memberi jawaban.

"Apaan?." Tanya Alvin dikala kakaknya itu menatapnya.

Alvaro menghela nafasnya. "Fio kemana?."

"Ooh itu. Si Fio udah pulang kerumahnya. Katanya sih keluarganya udah pulang dari Surabaya." Tutur Alvin.

Alvaro hanya diam tak berkomentar, ia kembali fokus pada sarapannya. Entah kenapa ada rasa ketidak relaan dikala gadis itu pergi meninggalkan rumahnya.

🌿🌿🌿

Fio mendorong pintu utama rumahnya dengan bersemangat. Bagaimana tidak, entah berapa hari ia tak bertemu mama dan papanya. Ia juga seperti anak-anak pada umumnya.

Ia menjatuhkan kopernya dikala melihat sang mama tengah duduk di sofa dihadapannya. Mata gadis itu berkaca-kaca, sungguh ia sangat merindukan mamanya.

"Mama!."

Fio yang tengah berlarian menuju mamanya menghentikan aksinya dikala mamanya itu menolak pelukannya. Tatapan wanita paruh baya itu menatap tajam padanya.

"Kenapa kamu pulang?." Tante Damita berujar sarkas.

Fio nampak gelagapan, ia tak tau harus menanggapi bagaimana. "Kan keluarga Fio udah pulang. Fio kangen ma."

Tante Damita tertawa renyah membuat gadis itu menyatukan alisnya bingung. Apa ia salah menjawab?. Lantas, kenapa mamanya itu tertawa?.

"Keluarga?. Siapa yang kamu anggap keluarga di sini. Apa kamu sedang bermimpi?!. Jangankan keluarga, saya saja tidak menganggap kamu ada!."

"Ma, Fio k-"

"Dengar ya anak sialan. Kamu jangan berharap lebih pada saya. Sampai kapan pun saya tidak akan pernah menganggap kamu ada!."

"Kamu tau sampah. Ya, kamu sejenis dengan itu. Apa ada orang yang menyimpan sampah dan menyayanginya?. Apa kamu bodoh?!. Sampah itu harus dibuang!. Kamu paham?!."

"Saya tegaskan sekali lagi. Saya bukan mama kamu!. Tidak akan pernah ada rasa kasih sayang diantara kita. Kamu hanya sampah. Tidak lebih dari itu. Jadi tolong, Jaga sikap kamu!."

Fio hanya diam tak bergeming, fikirannya seakan tak bisa menampung semua kata-kata itu. Ia seakan-akan ditampar secara terus menerus. Ia hampir gagal bertahan.

Dia hanya sampah!. Tak lebih dari itu, Alvaro juga sudah mengingatkannya perihal hal itu. Kenapa ia dapat bersikap lancang seperti ini. Kemana sikap kesadaran dirinya?.

Fio berjalan pelan menuju kamarnya, tak ada gunanya memikirkan semua itu. Namun pada akhirnya ia akan tetap memikirkannya. Gadis itu hanya tersenyum tipis, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kamarnya untuk bersiap-siap ke sekolah.

Fio menepuk-nepuk belakang roknya setelah turun dari angkutan umum. Ia pasti bertemu dengan Alvaro kali ini, karena cowok itu berangkat pagi untuk ujian kali ini. Bagaimana ia bersikap nantinya jika Alvaro menghampirinya?.

Langkah Fio terhenti, tatapannya mengarah pada parkiran di sampingnya. Nafasnya tercekat, matanya memanas. Pemandangan itu menjelaskan semuanya.

Fio memutus kontak mata antara ia dengan Alvaro yang tengah memeluk Filia. Ya, mantan dari cowok itu. Fio hanya menghela nafasnya panjang. Lalu berjalan tertatih menuju kelasnya.

***
Mohon
Vote
Dan
Comment:)

Follow my akun wattpad ya:)
Mohon kerja samanya.

Alvaro kenapa sihh
Jahat banget 😤

ALVAROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang